Rabu, 30 November 2011

Keefektifan penerapan bibliokonseling untuk meningkatkan perilaku jujur bagi siswa di SMP

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Kejujuran salah satu sifat terpuji yang harus dimiliki oleh manusia. Tanpa kejujuran, seseorang akan mengalami disintegrasi moral yang hebat. Perilaku tidak jujur dapat menimbulkan gangguan mental, tidak saja bagi dirinya namun juga dari lingkungannya. Lebih dari itu, ketidakjujuran juga dapat menumbuhsuburkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sudah saatnya pembelajaran di sekolah terintegrasi dengan aspek kejujuran. Banyak sekali kegiatan pembelajaran yang bisa terintegrasi dengan kejujuran. Upaya guru dalam menyajikan aspek kejujuran dalam konteks ini adalah mengintegrasikan aspek kejujuran dalam kehidupan nyata di lingkungan.
Pencapaian tujuan pendidikan di sekolah sesungguhnya merupakan tugas bersama guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling, serta tenaga pendidik lain di sekolah. Di Negara maju, fungsi pengembangan sekolah telah terpusat pada layanan bimbingan dan konseling.
Program-program sekolah didasarkan data yang diperoleh bimbingan dan konseling dari siswa. Sebab informasi tersebut selain up to date seiring dengan perkembangan individu (siswa) yang setiap saat selalu mengalami perubahan kejiwaan dan membutuhkan aktualisasi serta respons positif dari lingkungannya.
Di sekolah, pelaksanaan bimbingan dan konseling memiliki fungsi pengembangan, perbaikan, pemeliharaan kondisi positif, serta pemahaman dan pengentasan masalah siswa. Fungsi itu diterapkan dalam berbagai layanan,antara lain, layanan informasi, orientasi, bimbingan kelompok, dan konseling individu. BK membina siswa dalam berbagai aspek pribadi, pengembangan diri, sosial dan karir.
Dalam praktik sehari-hari berbagai kendala dihadapi guru dalam membimbing siswa. Banyak metode digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dari pendekatan Behavior, kemanusiaan, kognitif, hingga sibernetik. Salah satu alternative pendekatan yang saat ini mulai dikaji adalah bibliokonseling. Yakni pendekatan bimbingan dan konseling dengan menggunakan informasi atau pengetahuan yang terdapat dalam buku pustaka.
Dengan menggunakan buku bacaan sebagai “alat” untuk membantu siswa, guru bimbingan dan konseling punya banyak alternative bantuan untuk membimbing siswa, khususnya yang mengalami masalah. Dari komik, buku cerita, artikel dari koran atau majalah, novel, hingga buku yang tergolong berat seperti tulisan ilmiah, semua dimanfaatkan.
Untuk siswa yang cenderung sulit membaca buku teks, guru BK bisa memilihkan komik atau cerpen yang disukai siswa. Buku bacaan yang ditunjuk harus sesuai dengan masalah siswa. Dengan demikian, setelah membaca buku tersebut, siswa terbantu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Selain itu, buku yang digunakan harus sesuai dengan usia perkembangan siswa, sehingga bahasa dalam buku tersebut dapat dipahami dengan mudah.
Dengan menggunakan buku sebagai media untuk membantu siswa, guru dapat menghindari kemungkinan munculnya kesenjangan yang terjadi. Misalnya siswa mengalami masalah yang berhubungan dengan anatomi tubuhnya. Kendala bisa timbul bila siswa dan guru BK berjenis kelamin beda. Kendala seperti ini tak perlu muncul dalam bibliokonseling. Dari buku yang diberikan oleh guru BK, siswa terbantu mendapatkan informasi lengkap tanpa harus merasa risi atau malu. Kelebihan lain bibliokonseling adalah siswa merasa lebih aman. Bagi kebanyakan siswa, pemanfaatan buku bacaan untuk mencari alternative solusi atas masalah yang dihadapi tanpa kawatir masalahnya diketahui oleh orang lain.
Dari hasil penelitian awal yang dilakukan di SMP Negeri 1 Tibawa menunjukkan bahwa nilai kejujuran siswa dalam kehidupan sehari-hari belum nampak dengan bagus. Hal ini dapat dilihat dari seringnya penjual di kantin sekolah atau koperasi siswa yang mengeluh karena barang jualan yang hilang, masih ada siswa yang tidak membayar makanan di kantin sekolah setelah makan, sering terjadi kehilangan uang ataupun dompet di dalam kelas.
Dari kenyataan tersebut dapat diindikasikan bahwa nilai kejujuran pada siswa belum cukup optimal atau masih ada sebagian siswa yang berperilaku tidak jujur. Hal itu dapat disebabkan karena kurangnya pemahaman siswa terhadap pentingnya perilaku jujur dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk membuat penelitian dengan formulasi judul ”Keefektifan penerapan bibliokonseling untuk meningkatkan perilaku jujur bagi siswa di SMP Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo”.

1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan pada penelitian ini adalah :
a. Rendahnya perilaku jujur siswa dalam kehidupan sehari-hari.
b. Kurangnya pemahaman siswa terhadap pentingnya perilaku jujur dalam kehidupan sehari-hari.
c. Rendahnya minat siswa dalam memanfaatkan bibliokonseling sebagai salah satu cara dalam mengembangkan pengetahuan tentang pentingnya perilaku jujur.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan maka dapat dirumuskan permasalahan adalah “Apakah penerapan bibliokonseling efektif dalam meningkatkan perilaku jujur bagi siswa SMP Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo?.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan penggunaan bibliokonseling dalam meningkatkan perilaku jujur siswa di SMP Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat teoritis
a. Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti mengenai masalah yang diteliti khususnya berkaitan dengan meningkatkan perilaku jujur siswa.
b. Sebagai latihan dan pengalaman dalam mempraktekkan teori yang diterima dibangku kuliah khususnya penerapan bibliokonseling.
1.5.2 Manfaat praktis
a. Bagi siswa dapat menigkatkan perilaku jujur suswa dalam memanfaatkan penerapan bibliokonseling di sekolah.
b. Bagi sekolah sebagai masukan dalam usaha meningkatkan kualitas peserta didik melalui penerapan bibliokonseling.
c. Bagi guru sebagai masukan untuk dapat melaksanakan kerjasama dengan guru bimbingan dan konseling dalam upaya meningkatkan karakter dan budi pekerti siswa yang baik khususnya dalam meningkatkan perilaku jujur.
d. Bagi orang tua dapat menambah kesadaran untuk lebih memberikan dukungan dan pembelajaran terhadap pendidikan karakter siswa.





















BAB II
KAJIAN TEORETIS

2.1 Hakikat Perilaku Jujur
2.1.1 Pengertian Perilaku Jujur
Perilaku jujur adalah perilaku yang teramat mulia. Namun saat ini, perilaku jujur sangat sulit ditemukan. Lihat saja bagaimana kita jumpai di sekolah, di kantor, di berbagai lingkungan kerja, perilaku jujur ini hampir saja tidak ditemukan, (http://rumaysho.com/belajar-islam/akhlak/3193-berlakulah-jujur. Html/diakses tanggal 14 November 2011). Jujur berarti berkata yang benar yang bersesuaian antara lisan dan apa yang ada dalam hati. Jujur juga secara bahasa dapat berarti perkataan yang sesuai dengan realita dan hakikat sebenarnya. Kebalikan jujur itulah yang disebut dusta.
Pembiasaan perilaku jujur di sekolah saat ini diterapkan melalui pendidikan karakter. Namun demikian, pendidikan karakter hanya akan menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh dan menyeluruh dalam konteks pendidikan nasional kita. Bahkan, pendidikan karakter tentang kejujuran yang dipahami secara parsial dan tidak tepat sasaran justru malah bersifat kontraproduktif bagi pembentukan karakter siswa. (http://mustafatope. wordpress.com/category/pendidikan-karakter/ diakses tanggal 14 November 2011).
Kejujuran dalam kamus bahasa Indonesia adalah perbuatan yang lurus hati, tulus, dan ikhlas. Sehingga kejujuran diartikan sebagai sifat atau keadaan jujur, ketulusan hati atau kelurusan hati. Dalarn arti lain kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana-mana yang antra lain, kejujuran adalah nilai kebaikan sebagai sifat positif yang akan diterima semua orang di manapun dan kapan pun berada. Jadi kejujuran adalah kebaikan yang bersifat universal (Pusat Bahasa
DEPDIKNAS, 2001:479).
Kejujuran dapat pula diartikan sebagai perbuatan mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran, kejujuran tidaklah selalu tepat arti harfiahnya, dalam arti memiliki batasan-batasan dan lebih bersifat kondisional dalam aplikasinya sepanjang tidak keluar dan tujuan dan makna dasar.
Individu yang jujur adalah individu mampu menghargai apa yang dimiliki. Hati yang jujur menghasilkan tindakan-tindakan yang jujur. Jika kejujuran sudah ada dan melekat pada diri individu maka akan mendatangkan banyak hal yang positif, individu tidak akan berfikir untuk melakukan hal yang curang. (http://pelangikejora.wordpress.comJ2009/02/1 5/honesty). Pendekatan parsial yang tidak didasari pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam diri anak, malah menjerumuskan mereka pada perilaku kurang bermoral.
Selama ini, jika kita berbicara tentang perilaku jujur, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang sering kali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan sering kali pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi pendidikan yang kokoh. Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah beramai- ramai membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Dengan penerapan ini diharapkan anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, di banyak tempat anak yang baik malah tergoda menjadi pencuri dan kantin kejujuran dinyatakan gagal dalam meningkatkan perilaku jujur pada diri anak. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang ingin dibentuk tidak disertai dengan pembangunan perangkat sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama. Tiap orang bisa tergoda menjadi pencuri jika ada kesempatan.
Menjaga keutuhan tentang pendidikan perilaku jujur semestinya terarah pada pengembangan kultur edukatif yang mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi yang integral. Adanya bantuan sosial untuk mengembangkan keutamaan merupakan ciri sebuah lembaga pendidikan. Dalam konteks kantin kejujuran, bantuan sosial ini tidak berfungsi sebab anak malah tergoda menjadi pencuri.
Kegagalan kantin kejujuran adalah sebuah indikasi bahwa para pendidik memiliki kesalahan pemahaman tentang makna kejujuran dalam konteks pendidikan. Mereka tidak mampu melihat persoalan yang lebih mendalam yang menggerogoti sendi pendidikan kita. Kejujuran semestinya tidak dipahami sekadar anak jujur membeli barang di toko. Padahal, di depan mata, nilai-nilai kejujuran dalam konteks pendidikan telah diinjak-injak, seperti mencontek, menjiplak karya orang lain, melakukan sabotase, vandalisme halaman buku yang disimpan di perpustakaan, dan simulasi, yaitu mengaku telah mengumpulkan dan mengerjakan tugas, padahal sebenarnya tidak. Hal-hal inilah yang mesti diseriusi oleh para pendidik jika ingin menanamkan nilai kejujuran dalam konteks pendidikan.
Mencontek telah menjadi budaya dalam lembaga pendidikan kita. Ia bukan hanya berkaitan dengan kelemahan individu per individu, melainkan telah membentuk sebuah kultur sekolah yang tidak menghargai kejujuran. Bentuk pembiaran perilaku ketidakjujuran itu telah menyerambah dalam diri para pendidik, siswa, dan anggota komunitas sekolah lain. Untuk itu, pendekatan yang lebih utuh dan integrallah yang dibutuhkan untuk melawan budaya tidak jujur ini.
Pendidikan tentang perilaku jujur jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata. Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.
Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran. Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama, (http:// muslim.or.id/ akhlaq - dan- nasehat/ jujur- kiat-menuju-selamat. html diakses tanggal 14 November 2011).
Pendidikan perilaku jujur hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan tersebut dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan tidak efektif.
2.1.2 Perintah untuk Berlaku Jujur Menurut Agama Islam
Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At Taubah: 119).
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
“Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21).
Dalam hadits dari sahabat 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta. Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”
Begitu pula dalam hadits dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
“Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.”
Jujur adalah suatu kebaikan sedangkan dusta (menipu) adalah suatu kejelekan. Yang namanya kebaikan pasti selalu mendatangkan ketenangan, sebaliknya kejelekan selalu membawa kegelisahan dalam jiwa.
2.1.3 Kelebihan Perilaku Jujur
Jika kita merenungkan, perilaku jujur sebenarnya mudah menuai berbagai keuntungan. Yang dimaksud keuntungan ini adalah tetap dan bertambahnya kebaikan. Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا - أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا - فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu.”
Di antara keberkahan sikap jujur ini akan memudahkan kita mendapatkan berbagai jalan keluar dan kelapangan. Coba perhatikan baik-baik perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan surat At Taubah ayat 119. Beliau mengatakan, “Berlaku jujurlah dan terus berpeganglah dengan sikap jujur. Bersungguh-sungguhlah kalian menjadi orang yang jujur. Jauhilah perilaku dusta yang dapat mengantarkan pada kebinasaan. Moga-moga kalian mendapati kelapangan dan jalan keluar atas perilaku jujur tersebut.”
2.1.4 Akibat Berperilaku tidak Jujur
Dusta adalah dosa dan ‘aib yang amat buruk. Di samping berbagai dalil dari Al Qur’an dan dan berbagai hadits, umat Islam bersepakat bahwa berdusta itu haram. Di antara dalil tegas yang menunjukkan haramnya dusta adalah hadits berikut ini,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu ada tiga, dusta dalam perkataan, menyelisihi janji jika membuat janji dan khianat terhadap amanah.”
Dari berbagai hadits terlihat jelas bahwa sikap jujur dapat membawa pada keselamatan, sedangkan sikap dusta membawa pada jurang kehancuran. Di antara kehancuran yang diperoleh adalah ketika di akhirat kelak. Kita dapat menyaksikan pada hadits berikut,
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ : الْمَنَّانُ, الْمُسْبِلُ إِزَارَهُ وَالْمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلَفِ الْكَاذِبِ
“Tiga (golongan) yang Allah tidak berbicara kepada mereka pada hari Kiamat, tidak melihat kepada mereka, tidak mensucikan mereka dan mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih, yaitu: orang yang sering mengungkit pemberiannya kepada orang, orang yang menurunkan celananya melebihi mata kaki dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah dusta.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu mencela orang yang tidak transparan dengan menyembunyikan ‘aib barang dagangan ketika berdagang. Coba perhatikan kisah dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, "Apa ini wahai pemilik makanan?" Sang pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami." Jika dikatakan bukan termasuk golongan kami, berarti dosa menipu bukanlah dosa yang biasa-biasa saja.
2.2 Hakikat Bibliokonseling
2.2.1 Pengertian Bibliokonseling
Bibliokonseling merupakan nama lain dan diadaptasi dan biblioterapi yaitu merupakan teknik yang sudah dipraktikkan untuk mengubah tingkah laku manusia (Brammer dan Shostrom,1982). Ide pemanfaatan bahan bacaan sebagai media terapi pada zaman itu tak dapat dilepaskan. Orang dewasa sebaiknya menyeleksi cerita dan kisah yang diperdengarkan pada anak-anak mereka sebab hal itu dapat menjadi model cara berpikir dan budi pekerti anak di masa-masa selanjutnya.
Bibliokonseling adalah teknik bimbingan yang dilakukan dengan menggunakan buku atau cerita yang di dalamnya terdapat ajaran tentang berperilaku peduli. Buku merupakan media untuk memperoleh wawasan, pengetahuan, informasi, dan hiburan. Selain itu, buku dapat menjadi media terapi atau penyembuhan bagi penderita gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, trauma, dan stres. Pemanfaatan buku sebagai media terapi disebut biblioterapi. Jachna (2005:1) mengatakan biblioterapi adalah dukungan psikoterapi melalui bahan bacaan untuk membantu seseorang yang mengalami permasalahan personal. Metode terapi ini sangat dianjurkan, terutama bagi para penderita yang sulit mengungkapkan permasalahannya secara verbal (Suparyo, 2010).
Bibliokonseling juga dapat diartikan suatu kegiatan mengintervensi pemikiran individu dengan rnenggunakan suatu bacaan, sehingga setelah membaca bacaan tersebut, individu dapat mendapatkan informasi baru dan dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bibliokonseling adalah bimbingan belajar yang membantu individu secara mandiri untuk memahami din dan lingkungan, belajar dan lingkungan luar, dan menemukan solusi dan permasalahan. (Schrank and Engels, 1981, dalam Lasan).
Melalui bibliokonseling, disajikan informasi yang dibutuhkan atau sesuai dengan permasalahan, yaitu yang berkaitan dengan kesadaran akan kejujuran. Dengan mengetahui informasi yang ada dalam bacaan, individu dapat membentuk tingkah lakunya secra umum, dan secara khusus membentuk sikap dan kesadarannya.
Penggunaan bibliokonseling dianggap efektif dalam mengembangkan kesadanan akan kejujuran karena menurut Brammer dan Shostrom (1982) intervensi bibliokonseling dapat dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan, yaitu intelektual, sosial, perilaku, dan emosional. Pertama, pada tingkat intelektual, individu memperoleh pengetahuan tentang perilaku yang dapat memecahkan masalah. Dengan bacaan, individu memperoleh wawasan tentang keanekaragaman manusia dengan berbagai nilai-nilai kehidupan. Melalui bahan
Jadi, bibliokonseling dapat dimaknai sebagai upaya penyembuhan lewat buku. Bahan bacaan berfungsi untuk mengalihkan orientasi dan memberikan pandangan-pandangan yang positif sehingga menggugah kesadaran individu untuk bangkit menata hidupnya.
2.2.2 Tujuan Bibliokonseling
Tujuan bibliokonseling pada dasarnya sama dengan tujuan bimbingan yaitu membantu para anggota agar dapat membantu dirinya sendiri. Melalui bibliokonseling, disajikan informasi yang dibutuhkan atau sesuai dengan nilai karakter yang ingin mereka bangun. Dengan mêngetahui informasi yang ada dalam bahan bacaan, mereka dapat membentuk tingkah lakunya secara umum, secara khusus membentuk sikap, persepsi, mengubah prasangka sosial dan perubahan Iainnya. Tujuan semacam mi sebenarnya sudah tersirat dalam definisi bibliokonseling. Selain itu tujuan dan bibliokonseling, yaitu mendampingi seseorang yang tengah mengalami emosional yang berkecamuk karena permasalahan yang dihadapi dengan menyediakan bahan-bahan bacaan dengan topik yang tepat dan mengandung nilai-nilai karakter yang ingin dibangun pada din individu yang bersangkutan. Bibliokonseling juga dapat dijadikan sebagai stimulasi pikiran yang memungkinkan para anggota dapat menyilangkan gagasan- gagasan sehingga kesadarannya menjadi meningkat.
2.2.3 Tingkat Intervensi Bibliokonseling
Lewat membaca seseorang bisa mengenali dirinya. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh dan kegiatan membaca menjadi masukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi seseorang. Saat membaca, pembaca menginterpretasi jalan pikiran penulis, menerjemahkan simbol dan huruf ke dalam kata dan kalimat yang memiliki makna tertentu, seperti rasa haru dan simpati. Perasaan ini dapat ‘membersihkan din” dan mendorong sesorang untuk berperilaku lebih positif.
Menurut Novitawati (Suparyo, 2010) intervensi bibliokonseling dapat dike1ompokkn dalam empat tingkatan, yaitu intelektual, sosial, perilaku, dan emosional. Pertama, pada tingkat intelektual individu mernperoleh pengetahuan tentang perilaku yang dapat memecahkan masalah, membantu pengertian din, serta mendapatkan wawasan intelektual. Kedua, di tingkat sosial, individu dapat mengasah kepekaan sosialnya. Ia dapat melampaui bingkai referensinya sendiri melalui imajinasi orang lain. Teknik ini dapat menguatkan pola-pola sosial, budaya, menyerap nilai kemanusiaan dan saling memiliki. Ketiga, tingkat perilaku individu akan mendapatkan kepercayaan diri untuk membicarakan masalah-masalah yang sulit didiskusikan akibat perasaan takut, malu, dan bersalah. Lewat membaca, individu didorong untuk diskusi tanpa rasa malu akibat rahasia pribadinya terbongkar. Keempat, pada tingkat emosional, individu dapat terbawa perasaannya dan mengembangkan kesadaran menyangkut wawasan emosional. Teknik ini dapat menyediakan solusi-solusi terbaik dan rujukan masalah sejenis yang telah dialami orang lain sehingga merangsang kemauan yang kuat pada individu untuk memperbaiki diri.
2.2.4 Jenis dan Fungsi Bibliokonseling
Berry (Brammer dan Shostrom, 1982) membagi bibiokonseling menjadi dua yaitu klinis dan pendidikanlhumanistik. Jenis terapi klinis dijalankan oleh orang- orang yang bergerak dalam profesi kesehatan mental misalnya psikiater, psikolog, konselor, dan pekerja sosial. Jenis pendidikan atau humanistik dilaksanakan oleh konselor, guru, dan petugas pendidikan lain dalam latar pendidikan.
Dalam jenis pendidikan atau humanistik, bibliokonseling dapat memperluas pandangan seseorang tentang perbedaan kondisi manusia, Dengan membaca, mereka dapat memperoleh wawasan tentang keanekaragaman nilai- nilai yang dianggap berharga bagi manusia. Bibliokonseling memiliki kelebihan dibandingkan dengan kontak langsung dengan konseling. Oleh sebab itu, bibliokonselig dapat menjamin kebebasan pnibadi dan melindungi rahasia konseli kareià biasanya mereka takut dan cemas membuka hal- hal pribadi seperti cinta, takut, benci, kebiasaan buruk dan sebagainya. Kelebihan lain adalah buku atau bacaan yang sudah disiapkan sewaktu-waktu siap pakai dan dapat direvisi lagi jika perlu.
Bibliokonseling dapat disampaikan secara individual maupun kelompok. Pada individual bibliokonseling, bahan-bahan yang dibutuhkan harus bersifat khusus dan rinci. Konseli harus membaca bahan bacaan atau literatur yang sesuai dengan kesukaannya. Kegiatan apa yang akan ditindaklanjuti juga bisa disampaikan secara individual pada konseli. Konseli membahas kisah dalam buku dengan pembimbing, menulis laporan, merekam dalam perekam suara, atau mengungkapkan reaksinya. Melalui proses ini konseli mampu membongkar beban emosi dan meninggalkan tekanan emosional. Selain itu, dengan pemeriksaan dan analisis nilai-nilai moral dan stimulasi pemikiran kritis, konseli bisa mengembangkan kesadaran din, meningkatkan konsep din, dan memperbaiki penilaian pribadi dan sosial. Hasilnya ada perbaikan perilaku, kemampuan untuk menangani dan memahami masalah kehidupan yang penting, dan peningkatan empati, toleransi, respect. Semuanya bisa dilakukan melalui identifikasi dengan bahãn bacaan yang sesuai.
Penerapan bibliokonseling seacara kelompok yaitu konseli membaca literatur lisan atau mendengarkan sementara orang lain membacakan untuk mereka. Diskusikan secara kelompok dan konseli akan menyadari bahwa mereka tidak sendirian, masalah-masalah bisa dirasakan oleh orang lain. Meskipun bibliokonseling mendorong perubahan secara individual, hal ini hanya digunakan terbatas pada saat dimana krisis hadir. Bagaimanapun itu bukan obat yang menghilangkan semua masalah psikologis yang telah mengakar secara mendalam. Masalah-masalah mendalam tetap harus dilayani melalui intervensi terapi lebih intensif. Konseli usia remaja dirasa sudah bisa melihat din lewat cermin sastra dan literatur. Konseli usia remaja mungkin cenderung untuk merasionalisasi masalah mereka daripada yang mereka hadapi. Namun orang lain mungkin tidak dapat mentransfer wawasan ke dalam kehidupan nyata.
2.2.5 Tahapan Bibliokonseling
Oslen (2006) menyarankan lima tahap penerapan bibliokonseling, baik dilakukan secara pribadi maupun kelompok (http://kombinasi.net /biblioterapikekuatan-penyernbuhan-lewat- pengetahuan 18/10/10) meliputi:
a. Pertama, awali dengan motivasi. Peneliti/konselor dapat memberikan kegiatan pendahuluan, seperti permainan atau bermain peran, yang dapat mernotivasi konseli untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan treatment.
b. Kedua, memberikan waktu yang cukup untuk membaca bahan-bahan bacaan yang telah disiapkan hingga selesai. Sebelumnya, peneliti/konselor sudah memahami benar bahan-bahan bacaan yang disediakan.
c. Ketiga, Lakukan inkubasi. Peneliti/konselor memberikan waktu pada konseli untuk merenungkan dan merefleksi materi yang baru saja mereka baca.
d. Keempat, tindak lanjut. Sebaiknya tindak lanjut dilakukan dengan metode diskusi. Melalui diskusi konseli mendapatkan ruang untuk saling bertukar pandangan sehingga memunculkan gagasan baru. Kemudian, peneliti/konselor membantu konseli untuk merealisasikan pengetahuan itu dalam hidupnya.
e. Kelima, evaluasi. Sebaiknya evaluasi dilakukan secara mandini oleh konseli. Hal ini dilakukan untuk memancing konseli memperoleh kesimpulan yang tuntas dan memahami arti pengalaman yang dialami.

2.3 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teoritis di atas maka hipotesis tindakan untuk penelitian ini adalah “Penerapan bibliokonseling efektif dalam meningkatkan perilaku jujur siswa di SMP Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo”.


BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Dalam penelitan ini, metode yang di gunakan adalah metode eksperimen semu dengan desain pretes dan postes terhadap perilaku jujur siswa di SMP Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Pelaksanaan penelitian tindakan kelas berlangsung selama tiga bulan, yaitu dari bulan November sampai dengan Januari tahun 2012. Yang menjadi subyek dalam penelitian tindakan kelas ini adalah siswa kelas IX SMP Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo yang berusia rata-rata 12 - 13 tahun.
3.3 Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen semu.
Pre-test Treatment Post-test
X1 T X2

Keterangan :
X1 = Pre-Test perilaku jujur siswa sebelum diterapkan bibliokonseling
X1 = Pos-Test perilaku jujur siswa setelah diterapkan bibliokonseling
T = penerapan bibliokonseling

3.4 Definisi Operasional Variabel
Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) variable yaitu : (1) perilaku jujur adalah variabel dependent . Sedangkan penerapan bibliokonseling sebagai variable independen.
Indikator perilaku jujur siswa adalah sebagai berikut :
a. Mampu berperilaku jujur terhadap guru
b. Mampu melakukan perilaku jujur di dalam pergaulan/teman sebaya
c. Mampu melakukan perilaku jujur terhadap orang tua
Sedangkan penerapan bibliokonseling diterapkan dengan indikator sebagai berikut :
a. Kegiatan membaca siswa
b. Merefleksikan isi bacaan
c. Membuat kesimpulan tentang isi bacaan
d. Membuat komitmen terhadap perilaku siswa
3.5 Populasi dan Sampel
3.5.1 Populasi
Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai populasi adalah seluruh siswa di SMP Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo. Yang berjumlah 383 dan tersebar kedalam 6 rombongan belajar

3.5.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 siswa berasal dari perwakilan Kelas VIII dan IX SMP Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo dan digabung menjadi 1 kelompok.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang di inginkan dan sesuai dengan kepentingan peneliti, maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui pre-test dan pos-test. Pre-test dilakukan untuk mengumpulkan data tentang perilaku jujur siswa di sekolah sebelum dilakukan Treatment. Pelaksanaannya dilakukan dengan menggunakan angket sedang observasi dan wawancara adalah penunjang. Pos-Test dilakukan untuk mengumpulkan data tentang perilaku jujur suswa di sekolah setelah dilakukan Treatment. Adapun cara pengumpulan data sama dengan apa yang dilakukan sebelumnya pada Pre-Test.
3.7 Teknik Analisis Data
3.7.1 Uji Normalitas Data
Untuk kepentingan pengujian normalitas data dapat digunakan rumus sebagai berikut :

Oi = Frekuensi Observasi

3.7.2 Uji Hipotesis

Keterangan :
X1 : Rata-rata skor pertama
X2 : Rata-rata skor kedua
S : Varians gabungan
n1 : Jumlah sampel pertama
n2 : Jumlah sampel ke dua