Jumat, 16 Desember 2011

Kemampuan Menyesuaikan Diri


Setiap kegiatan manusia hampir tidak pernah lepas dari unsur sosial budaya. Sosial mengacu kepada hubungan antarindividu, antarmasyarakat, dan individu dengan masyarakat. Karena itu aspek sosial melekat pada diri individu yang perlu dikembangkan dalam perjalanan hidup peserta didik agar menjadi matang, karena itu dalam proses pendidikan pengembangan aspek sosial perlu diperhatikan. Sama halnya dengan sosial, aspek budaya juga sangat berperan dalam proses pendidikan. Selain sebagai individu, manusia juga sebagai makhluk sosial yang berbaur dalam satu kelompok masyarakat. Masyarakat sebagai suatu kelompok juga memiliki keragaman dan perbedaan dalam ras, suku, jenis kelamin, agama, status ekonomi, status sosial, budaya, daerah tempat tinggal yang membentuk keragaman dalam suatu lingkungan sosial budaya tertentu.
Lingkungan dan kognisi merupakan kunci keberhasilan dalam perkembangan. Apabila organisme berada dalam lingkungan sosial maka ia akan belajar secara cepat melalui proses observasi pada perilaku orang lain. Ketika mengobservasi perilaku orang lain maka ia akan melibatkan fungsi kognitif, dan ketika mengulang-ulang perilaku terjadilah penguatan yang luar biasa pada kemampuan menyesuaikan diri pada anak.
Kemampuan menyesuaikan diri pada anak akan membuatnya mudah belajar tentang perilaku sosial seperti berbagi, berempati, menolong teman, memahami dan mengerti antar sesama teman, serta harus mandiri. Dengan semakin banyak teman, anak pun akan kaya dengan pengalaman.  Hal ini berbeda dengan anak seusianya yang jarang berinteraksi dengan teman sebayanya di sekitar rumah; ia akan cenderung menjadi ’raja’ atau ’ratu’ yang harus dilayani, diperhatikan, dan diutamakan. Hal ini akan menghambat perkembangan psikososialnya. Pandangan yang menyatakan bahwa keberhasilan pada anak hanya dipengaruhi oleh faktor kecerdasan dan mengabaikan kemampuan menyesuaikan diri merupakan hal yang kurang tepat. Dengan kemampuan menyesuaikan diri anak mengerti dan peduli terhadap orang lain, saling menghargai, dan tolong menolong.
 

A. Pengertian Kemampuan Menyesuaikan Diri
Kemampuan penyesuasian diri anak, sangat erat hubungannya dengan mutu atau kualitas suatu lingkungan, baik keluarga, maupun lingkungan masyarakat secara luas. Sebab kemampuan penyesuasian diri yang dimiliki individu dihasilkan melalui interaksi dan pengamatan sehari-hari mereka dengan orang atau lingkungan di sekelilingnya.
Menurut Hartinah (2010:184) Penyesuaian diri dapat diartikan atau dideskripsikan sebagai berikut:
a.       Penyesuaian berarti adaptasi; dapat mempertahankan eksistensinya, atau bisa survive dan memperoleh kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah, dan dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan sosial.
b.      Penyesuaian dapat juga diartikan sebagai konformitas, yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip.
c.      
Penyesuaian dapat diartikan sebagal penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi respon-respon sede- mikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustasi-frustasi secara efisien. Individu memiliki kemampuan meng- hadapi realitas hidup dengan cara yang adekuat/memenuhi syarat.
d.      Penyesuaian dapat diartikan penguasaan dan kematangan emosional.
Kematangan emosional maksudnya ialah secara positif memiliki respon emosional yang tepat pada setiap situasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian adalah usaha
manusia untuk mencapai keharmonisan pada din sendini dan pada Iingkung annya.
Sehubungan dengan faktor penentu kemampuan penyesuaian diri, Surya (Herimanto & Winarno, 2010:18), menjelaskan bahwa penentu-penentu penyesuaian diri identik dengan faktor yang menentukan perkembangan kepribadian, adapun penentu-penentu yang dimaksud adalah: (1) kondisi jasmaniah yang melipti pembawaan, susunan jasmaniah, sistem syaraf, kelenjar otot, kesehatan, dan lain-lain; (2) perkembangan dan kematangan yang meliputi kematangan intelektual, sosial, moral, dan emosional; (3) penentu psikologis yang meliputi pengalaman belajar, pembiasaan, frustasi, dan konflik; (4) kondisi lingkungan yang meliputi rumah, sekolah, dan masyarakat, (5) penentu kultural berupa kebudayaan dan agama.
Menurut Hasan (2000:74) menyatakan bahwa menyesuaikan diri adalah satu konsep umum yang bisa dimaknakan sebagai sebuah proses di mana kita belajar melalui interaksi dengan orang lain, tentang cara berpikir, merasakan, dan bertindak, di mana kesemuanya itu merupakan hal-hal yang sangat penting dalam menghasilkan partisipasi sosial yang efektif. Sosialisasi merupakan proses yang terus terjadi selama hidup kita. Penyesuaian diri adalah proses bagaimana individu mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungan, Hartinah (2010:184).
Sesuai dengan pengertian tersebut, maka tingkah laku manusia dapat dipandang sebagai reaksi terhadap berbagai tuntutan dan tekanan lingkungan tempat ia hidup seperti cuaca dan berbagai unsur alami lainnya. Semua mahluk hidup secara alami dibekali kemampuan untuk menolong dirinya sendiri dengan cara menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan materi dan alam agar dapat bertahan hidup. Dalam istilah psikologi, penyesuaian (adaptation dalam istilah Biologi) disebut dengan istilah adjusment.
Adjustment itu sendiri merupakan suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan tuntutan lingkungan (Mutadin, 2010). Manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan dan lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu sendiri secara alamiah juga mendorong manusia untuk terus-menerus menyesuaikan diri. 
Sebagai makhluk sosial, individu dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan  yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku. Oleh karena itu setiap individu dituntut untuk menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Ketrampilan-ketrampilan tersebut biasanya disebut sebagai aspek psikososial. Ketrampilan tersebut harus mulai dikembangkan sejak masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup buat anak-anak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan tugas dan tanggungjawab sesuai perkembangan anak, dsb. Dengan mengembangkan ketrampilan tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat. 
Keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri menjadi semakin penting dan krusial manakala anak sudah menginjak masa remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. Kegagalan remaja dalam menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial akan menyebabkan dia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif (misalnya asosial ataupun anti sosial), dan bahkan  dalam perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan.
Sebagai pribadi sosial, individu harus mampu menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain, baik dalam bentuk hubungan yang mendalam maupun tidak mendalam, memiliki rasa aman, dan menerima din sendiri. Individu harus memiliki orientasi yang realistik baik terhadap dirinya sendiri, maupun terhadap kenyataan luar. Menurut Hutagalung (2007:10) ada dua komponen pokok dalam mengembangkan kemampuan menyesuaikan diri yaitu: (1) Humor, disini tidak hanya berarti kecakapan untuk mendapat- kan kesenangan dan hal yang dapat ditertawakan, tetapi juga kecakapan untuk membina dan mempertahankan hubungan positifdengan din sendiri dan obyek yang disenangi, dan pada
saat yang sama mampu melihat kejanggalan dan kemustahilan
dalam hubungan itu. (2) Insight, kemampuan individu untuk mengerti dan memahami dirinya sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya. Atas dasar pengertian tersebut  dapat diberikan batasan bahwa kemampuan manusia sanggup untuk membuat hubungan-hubungan yang menyenangkan antara manusia dengan lingkungannya.

B. Karakteristik Penyesuaian Diri
Tidak selamanya individu berhasil dalam melakukan penyesuaian diri, karena kadang-kadang ada rintangan-rintangan tertentu yang menyebabkan tidak berhasil melakukan penyesuaian diri. Rintangan-rintangan itu mungkin terdapat dalam dirinya atau mungkin di luar dirinya. Dalam hubungannya dengan rintangan-rintangan tersebut ada individu-individu yang dapat melakukan
penyesuaian din secara positif, namun ada pula individu-individu yang mela- kukan penyesuaian diri yang salah. Berikut ini akan ditinjau karakteristik penyesuaian diri yang positif dan penyesuaian diri yang salah menurut Hartinah (2010:186-187) adalah sebagai berikut.
1)      Penyesuaian diri secara positif
Mereka yang tergolong mampu melakukan penyesuaian diri secara positif ditandai hal-hal sebagai berikut:
a.       Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional.
b.      Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis.
c.       Tidak menunjukkan adanya frustrasi pribadi.
d.      Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri.
e.       Mampu dalam belajar
f.       Menghargai pengalaman
g.      Bersikap realistic dan objektif.
Dalam melakukan penyesuaian din secara positif, individu akan melakukannya dalam berbagai bentuk, antara lain:
a.       Penyesuaian dengan mengahadapi masalah secara langsung
Pada situasi ini individu secara langsung menghadapi masalahnya dengan segala akibat-akibatnya. Ia melakukan segala tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Misalnya seorang siswa yang terlambat dalam menyerahkan tugas karena sakit, maka Ia menghadapinya secara langsung, ia mengemukakan segala masalahnya kepada gurunya.
b.       Penyesuaian dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan)
Pada situasi ini individu mencari berbagai bahan pengalaman untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya. Misalnya: seorang siswa yang merasa kurang mampu dalam mengerjakan tugas, ía akan mencari bahan dalam upaya menyelesaikan tugas tersebut, dengan membaca buku, konsultasi, diskusi dan sebagainya.
c.       Penyesuaian dengan trial and error atau coba-coba
Dengan cara ini individu melakukan suatu tindakan coba-coba, dalam arti kalau menguntungkan diteruskan dan kalau gagaltidakditeruskan. Taraf pemikiran kurang begitu berperan dibandingkan dengan cara eksplorasi.
d.      Penyesuaian dengan substitusi (mencari pengganti)
Jika individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, maka ja
dapat memperoleh penyesuaian dengan jalan mencari pengganti.
Misalnya gagal nonton film di gedung bioskop, dia pindah nonton
TV.
e.       Penyesuaian din dengan menggali kemampuan diri
 Dalam hal ini individu mencoba menggali kemampuan-kemampuan khusus dalam dirinya, dan kemudian dikembangkan sehingga dapat membantu penyesuaian din. Misalnya seorang siswa yang mempunyai kesulitan dalam keuangan, berusaha mengembangkan kemampuannya dalam menulis (mengarang). Dan usaha mengarang ía dapat membantu mengatasi kesulitan dalam keuangan.
f.       Penyesuaian dengan belajar
Dengan belajar, individu akan banyak mempenoleh pengetahuan dan keterampilan yang dapat membantu menyesuaikan din. Misalnya seorang guru akan lebih dapat menyesuaikan din dengan banyak belajan tentang berbagai pengetahuan keguruan.
g.      Penyesuaian dengan inhibisi dan pengendalian diri.
Penyesuaian diri akan lebih berhasil jika disertai dengan kemampuan memilih tindakan yang tepat dan pengendalian diri secara tepat pula. Dalam situasi ini individu berusaha memilih tindakan mana yang harus dilakukan, dan tindakan mana yang tidak penlu dilakukan. Cara inilah yang disebut inhibisi. Di samping itu, individu harus mampu mengendalikan dirinya dalam melakukan tindakannya.
h.      Penyesuaian dengan perencanaan yang cermat
Pada situasi ini tindakan yang dilakukan merupakan keputusan yang diambil berdasarkan perencanaan yang cermat. Keputusan diambil setelah dipertimbang kan dan berbagai segi, antara lain segi untung dan ruginya.
2)      Penyesuaian Diri yang Salah
Kegagalan dalam melakukan penyesuaian diri secara positif, dapat mengakibatkan individu melakukan penyesuaian yang salah. Penyesuaian diri yang salah ditandai dengan berbagai bentuk tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik, agnesif dan sebagainya. Ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah yaitu : (1) reaksi bertahan, (2) neaksi menyerang, dan (3) reaksi melarikan diri.
C. Faktor  Penentu Kemampuan Menyesuaikan Diri pada Anak
Makna akhir hasil pendidikan seseorang individu terietak pada sejauh mana hal yang telah dipelajari dapat membantunya dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan pada tuntutan masyarakat. Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang didapat di sekolah dan di luar sekolah memiliki sejumlah pengetahuan, kecakapan, minat-minat, dan sikap-sikap. Dengan pengalaman-pengalaman itu ia secara berkesinambungan dibentuk menjadi seorang pribagi seperti apa yang dia miliki sekarang dan menjadi seorang pribadi tertentu di masa mendatang.
Selanjutnya Mutadin (2002 dalam http://www.e-psikologi.com/epsi/ individual_detail.asp?id=390. [9 April 2002]), mengemukakan bahwa pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan lingkungannya, beberapa faktor yang dianggap dapat menciptakan penyesuaian diri yang cukup sehat bagi anak, di antaranya adalah:
a)      Keluarga yang aman, cinta, respek, toleran, dan memiliki kehangatan.
Lingkungan keluarga juga merupakan lahan untuk mengembangkan berbagai kemampuan, yang dipelajari melalui permainan, senda gurau, sandiwara dan pengalaman-pengalaman sehari-hari di dalam keluarga. Tidak diragukan lagi bahwa dorongan semangat dan persaingan antara anggota keluarga yang dilakukan secara sehat memiliki pengaruh yang penting dalam perkembangan kejiwaan seorang individu. Oleh sebab itu, orangtua sebaiknya jangan menghadapkan individu pada hal-hal yang tidak dimengerti olehnya atau sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan olehnya, sebab hal tersebut memupuk rasa putus asa pada jiwa individu tersebut.
Dalam keluarga individu juga belajar agar tidak menjadi egois, ia diharapkan dapat berbagi dengan anggota keluarga yang lain. Individu belajar untuk menghargai hak orang lain dan cara penyesuaian diri dengan anggota keluarga, mulai orang tua, kakak, adik, kerabat maupun pembantu. Kemudian dalam lingkungan keluarga individu mempelajari dasar dari cara bergaul dengan orang lain, yang biasanya terjadi melalui pengamatan terhadap tingkah laku dan reaksi orang lain dalam berbagai keadaan. Biasanya yang menjadi acuan adalah tokoh orang tua atau seseorang yang menjadi idolanya. Oleh karena itu, orangtua pun dituntut untuk mampu menunjukkan sikap-sikap atau tindakan-tindkan yang mendukung hal tersebut.
Hasil interaksi dengan keluarganya individu juga mempelajari sejumlah adat dan kebiasaan makan, minum, berpakaian, cara berjalan, berbicara, duduk dan lain sebagainya. Selain itu dalam keluarga masih banyak hal lain yang sangat berperan dalam proses pembentukan kemampuan penyesuaian diri yang sehat, seperti rasa percaya pada orang lain atau diri sendiri, pengendalian rasa ketakutan, toleransi, kefanatikan, kerjasama, keeratan, kehangatan dan rasa aman karena semua hal tersebut akan berguna bagi masa depannya.
b)      Teman Sebaya.
Dalam kehidupan pertemanan, pembentukan hubungan yang erat di antara kawan-kawan semakin penting pada masa siswa dibandingkan masa-masa lainnya. Suatu yang sulit bagi siswa adalah menjauh dari temannya, individu mencurahkan kepada teman-temannya apa yang tersimpan di dalam hatinya, dari angan-angan, pemikiran dan perasaan. Ia mengungkapkan kepada mereka secara bebas tentang rencananya, cita-citanya dan dorongan-dorongannya. Dalam semua itu individu menemukan telinga yang mau mendengarkan apa yang dikatakannya dan hati yang terbuka untuk bersatu dengannya.
Dengan demikian pengertian yang diterima dari temanya akan membantu dirinya dalam penerimaan terhadap keadaan dirinya sendiri, ini sangat membantu diri individu dalam memahami pola-pola dan ciri-ciri yang menjadikan dirinya berbeda dari orang lain. Semakin mengerti ia akan dirinya maka individu akan semakin meningkat kebutuhannya untuk berusaha untuk menerima dirinya dan mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Sehingga ia akan menemukan cara penyesuaian diri yang tepat sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
c)      Sekolah
Sekolah mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah pengetahuan dan informasi, tetapi mencakup tanggungjawab pendidikan secara luas. Demikian pula dengan guru, tugasnya tidak hanya mengajar, tetapi juga berperan sebagai pendidik yang menjadi pembentuk masa depan, ia adalah langkah pertama dalam pembentukan kehidupan yang menuntut individu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Pendidikan modern menuntut guru atau pendidik untuk mengamati perkembangan individu dan mampu menyusun sistem pendidikan sesuai dengan perkembangan tersebut.
Dalam pengertian ini berarti proses pendidikan merupakan penciptaan penyesuaian antara individu dengan nilai-nilai yang diharuskan oleh lingkungan menurut kepentingan perkembangan dan spiritual individu. Keberhasilan proses ini sangat bergantung pada cara kerja dan metode yang digunakan oleh pendidik dalam penyesuaian tersebut. Jadi di sini peran guru sangat berperan penting dalam pembentukan kemampuan penyesuaian diri individu.
Untuk membantu tumbuhnya kemampuan penyesuaian diri, maka sejak awal anak diajarkan untuk lebih memahami dirinya sendiri (kelebihan dan kekurangannya) agar ia mampu mengendalikan dirinya sehingga dapat bereaksi secara wajar dan normatif.  Agar anak dan remaja mudah menyesuaikanan diri dengan kelompok, maka tugas orang tua/pendidik adalah membekali diri anak dengan membiasakannya untuk menerima dirinya, menerima orang lain, tahu dan mau mengakui kesalahannya, dsb. Dengan cara ini, remaja tidak akan terkejut menerima kritik atau umpan balik dari orang lain/kelompok, mudah membaur dalam kelompok dan memiliki solidaritas yang tinggi sehingga mudah diterima oleh orang lain/kelompok.
Selain itu anak harus diajarkan sejak dini untuk dapat memilih prioritas tugas-tugas yang harus segera diatasi, bukan menunda atau mengalihkan perhatian pada tugas yang lain. Karena itu sejak awal sebaiknya orang tua atau pendidik telah memberikan bekal agar anak dapat memilih mana yang penting dan mana yang kurang penting melalui pendidikan disiplin, tata tertib dan etika.
Menurut Enung (2008: 204) pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan lingkungannya, pada penulisan ini beberapa lingkungan yang dianggap dapat menciptakan penyesuaian diri yang cukup sehat bagi remaja, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.   Lingkungan keluarga
Semua konflik dan tekanan yang ada dapat dihindari dengan cara memberi solusinya apa bila individu dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang dimana tempat, keamanan, cinta, respek, toleransi dan kehangatan dapat terpenuhi. Dengan demikian penyesuaian diri akan menjadi lebih baik bila dalam keluarga individu merasakan bahwa kehidupannya berarti.
Rasa takut dengan keluarga adalah salah satu kebutuhan pokok bagi perkembangan jiwa seorang individu. Dalam prakteknya banyak orang tua yang mengetahui hal ini namun mengabaikannya dengan alasan mengejar karir dan mencari penghasilan yang besar demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan menjamin masa depan anak-anak. Hal ini seringkali ditanggapi negatif oleh anak dengan merasa dirinya tidak disayangi, diremehkan bahkan dibenci. Bila hal tersebut terjadi berulang-ulang dalam jangka waktu yang cukup panjang (terauma pada masa kanak-kanak) maka akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan individu dalam menyesuaikan diri dikemudian hari. Meskipun pada remaja hal ini kurang berpengaruh, karena remaja sudah lebih matang tingkat pemahamannya, namun tidak menuntut kemungkinan pada beberapa remaja kondisi tersebut akan membuat dirnya tertekan, cemas dan stres (Sunarto, 2008: 229).
Berdasarkan kenyataan tersebut diatas pemenuhan kebutuhan anak akan rasa kekeluargaan harus diperhatikan. Orang tua harus terus berusaha untuk meningkatkan kuwalitas pengasuhan, pengawasan dan penjagaan pada anak, jangan semata-mata menyerahkan pada pembantu. Jangan sampai semua urusan makan dan pakaian diserahkan pada orang lain karena hal demikian dapat membuat anak tidak memiliki rasa aman terhadap keluarganya.
Lingkungan keluarga merupakan lahan untuk pengembangan berbagai kemampuan, yang dipelajari melalui permainan, senda gurau, sandiwara pengalaman-pengalaman sehari-hari di dalam keluarga. Tidak diragukan lagi bahwa dorongan semangat dan persaingan antara anggota keluarga yang dilakukan secara sehat memiliki pengaruh yang penting dalam perkembagan kejiwaan seorang anak. Oleh sebab itu, orang tua sebaiknya jangan menghadapkan anak pada  hal-hal yang tidak dimengerti olehnya atau sesuatu yang sangat sulit untuk dilakuakan olehnya, sebab hal tersebut memupuk rasa putus asa pada jiwa anak tersebut (Sunarto, 2008: 229).
Dalam lingkungan keluarga anak belajar agar tidak menjadi egois, ia diharapkan dapat berbagi dengan anggota keluarga yang lain. Anak belajar untuk menghargai hak orang lain dan cara penyesuaian diri dengan anggota keluarga, mulai dari orang tua, kakak, adik, kerabat maupun pembantu. Kemudian dalam lingkungan keluarga anak mempelajari dasar cara bergaul dengan orang lain, yang biasanya terjdi melalui pengamatan terhadap tingkah laku dan reaksi orang lain dalam berbagai keadaan. Biasanya yang menjadi acuan adalah tokoh orang tua atau seseorang yang menjadi idolanya. Oleh karena itu, orang tua pun dituntut untuk mampu menunjukkan sikap-sikap atau tindakan-tindakan yang mendukung hal tersebut.
Dalam hasil interaksi dengan keluarganya anak mempelajari sejumlah adat dan kebiasaan dalam makan, minum, berpakaian, cara berjalan, bebicara, duduk dan lain sebagainya. Selain itu dalam keluarga masih banyak hal lain yang sangat berperan dalam proses pembentukan kemampuan penyesuaian diri yang sehat seperti rasa percaya pada orang lain atau diri sendiri, pengendalian rasa ketakutan, toleransi, kefanatikan, kerjasama, keeratan, kehangatan dan rasa aman karena semua hal tersebut akan berguna bagi masa depannya (Enung, 2008: 206).
2.  Lingkungan teman sebaya
Begitu pula dalam kehidupan pertemanan, pembentukan hubungan yang erat diantara kawan-kawan semakin penting pada masa remaja dibandingkan  masa-masa lainya. Suatu hal yang sulit bagi remaja menjauh dari temannya, individu mencurahkan kepada teman-temannya apa yang tersimpan di dalam hatinya, dari angan-angan, pemikiran dan perasaan. Ia mengungkapkan kepada mereka secara bebas tentang rencananya, cita-citanya dan dorongan-dorongannya. Dalam semua itu individu menemukan telinga yang mau mendengarkan apa yang dikatakannya dan hati yang terbuka untuk bersatu.
Dengan demikian pengertian yang diterima dari temannya akan membantu dirinya dalam penerimaan terhadap keadaan dirinya sendiri, ini sangat membantu diri individu dalam memahami pola-pola ciri-ciri yang menjadikan dirinya berbeda dari orang lain. Semakin mengerti ia akan dirinya maka individu akan semakin meningkat kebutuhannya untuk berusaha untuk menerima dirinya dan mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Dengan demikian ia akan menemukan cara penyesuaian diri yang tepat sesuai dengan potensinya yang dimilikinya (Enung, 2008: 206).
3.   Lingkungan sekolah
Sekolah mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah pengetahuan dan informasi saja, tetapi akan mencakup tanggungjawab pendidikan secara luas. Demikian guru, tugasnya tidak hanya mengajar,  juga berperan sebagai pendidik yang menjadi pembentuk masa depan, dalam pembentuk kehidupan yang menuntut individu untuk menyesuaikan diri dengan linkungannya (Enung, 2008: 206).
Pendidikan modern menuntut guru atau pendidik untuk mengamati perkembangan anak didiknya dan mampu menyusun sistem pendidikan sesuai dengan perkembangan tersebut. Dalam pengertian ini berarti proses pendidikan merupakan penciptaan penyesuaian diri antara anak didik dengan nilai-nilai yang diharuskan oleh lingkungan menurut kepentingan perkembangan dan spiritual individu. Keberhasilan proses ini sangat bergantung pada cara kerja dan metode yang digunakan oleh pendidik dalam penyesuaian diri tersebut. Jadi disini guru sangat berperan penting dalam pembentukan kemampuan penyesuaian diri anak didiknya.
 Pendidikan pada anak hendaknya tidak didasarkan atas tekanan atau sejumlah bentuk kekerasan dan paksaan, karena pola pendidikan seperti itu hanya akan membawa pertentangan antara orang dewasa dengan remaja. Jika para remaja merasa bahwa mereka disayangi dan diterima sebagai teman dalam proses pendidikan dan pengembangan mereka, maka tidak akan ada kesempatan untuk terjadi pertentangan antar generasi (Fauzizah, 2008: 60).
D Upaya Meningkatkan Kemampuan Menyesuaikan Diri pada Anak
Upaya-upaya yang dapat diiakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri pada anak khususnya di sekolah menurut Hartinah (2010:197) adalah sebagai berikut.
a.    Menciptakan situasi sekolah yang dapat menimbulkan rasa “betah” (at home) bagi anak didik, balk secara sosial, fisik maupun akademis.
b.    Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenang kan bagi anak.
c.    Usaha memahami anak didik secara menyeluruh, balk prestasi belajar, sosial, maupun seluruh aspek pnibadinya.
d.   Menggunakan metode dan alat mengajar yang menimbul kan gairah belajar.
e.    Menggunakan prosedur evaluasi yang dapat memperbesar motivasi belajar.
f.     Ruangan kelas yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
g.    Peraturan/tata tertib yang jelas dan dipahami anak.
h.    Teladan dan para guru dalam segala segi pendidikan.
i.      Kerjasama dan saling pengertian dan para guru dalam melaksanakan kegiatan pendidikan di sekoiah.
j.      Pelaksanaan program bimbingan dan penyuluhan yang sebaik-baiknya.
k.    Situasi kepemimpinan yang penuh saling pengertian dan tanggung jawab baik pada murid maupun pada guru.
l.      Hubungan yang baik dari penuh pengertian antara sekolah dengan orangtua siswa dan masyarakat.

Rabu, 30 November 2011

Keefektifan penerapan bibliokonseling untuk meningkatkan perilaku jujur bagi siswa di SMP

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Kejujuran salah satu sifat terpuji yang harus dimiliki oleh manusia. Tanpa kejujuran, seseorang akan mengalami disintegrasi moral yang hebat. Perilaku tidak jujur dapat menimbulkan gangguan mental, tidak saja bagi dirinya namun juga dari lingkungannya. Lebih dari itu, ketidakjujuran juga dapat menumbuhsuburkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sudah saatnya pembelajaran di sekolah terintegrasi dengan aspek kejujuran. Banyak sekali kegiatan pembelajaran yang bisa terintegrasi dengan kejujuran. Upaya guru dalam menyajikan aspek kejujuran dalam konteks ini adalah mengintegrasikan aspek kejujuran dalam kehidupan nyata di lingkungan.
Pencapaian tujuan pendidikan di sekolah sesungguhnya merupakan tugas bersama guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling, serta tenaga pendidik lain di sekolah. Di Negara maju, fungsi pengembangan sekolah telah terpusat pada layanan bimbingan dan konseling.
Program-program sekolah didasarkan data yang diperoleh bimbingan dan konseling dari siswa. Sebab informasi tersebut selain up to date seiring dengan perkembangan individu (siswa) yang setiap saat selalu mengalami perubahan kejiwaan dan membutuhkan aktualisasi serta respons positif dari lingkungannya.
Di sekolah, pelaksanaan bimbingan dan konseling memiliki fungsi pengembangan, perbaikan, pemeliharaan kondisi positif, serta pemahaman dan pengentasan masalah siswa. Fungsi itu diterapkan dalam berbagai layanan,antara lain, layanan informasi, orientasi, bimbingan kelompok, dan konseling individu. BK membina siswa dalam berbagai aspek pribadi, pengembangan diri, sosial dan karir.
Dalam praktik sehari-hari berbagai kendala dihadapi guru dalam membimbing siswa. Banyak metode digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dari pendekatan Behavior, kemanusiaan, kognitif, hingga sibernetik. Salah satu alternative pendekatan yang saat ini mulai dikaji adalah bibliokonseling. Yakni pendekatan bimbingan dan konseling dengan menggunakan informasi atau pengetahuan yang terdapat dalam buku pustaka.
Dengan menggunakan buku bacaan sebagai “alat” untuk membantu siswa, guru bimbingan dan konseling punya banyak alternative bantuan untuk membimbing siswa, khususnya yang mengalami masalah. Dari komik, buku cerita, artikel dari koran atau majalah, novel, hingga buku yang tergolong berat seperti tulisan ilmiah, semua dimanfaatkan.
Untuk siswa yang cenderung sulit membaca buku teks, guru BK bisa memilihkan komik atau cerpen yang disukai siswa. Buku bacaan yang ditunjuk harus sesuai dengan masalah siswa. Dengan demikian, setelah membaca buku tersebut, siswa terbantu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Selain itu, buku yang digunakan harus sesuai dengan usia perkembangan siswa, sehingga bahasa dalam buku tersebut dapat dipahami dengan mudah.
Dengan menggunakan buku sebagai media untuk membantu siswa, guru dapat menghindari kemungkinan munculnya kesenjangan yang terjadi. Misalnya siswa mengalami masalah yang berhubungan dengan anatomi tubuhnya. Kendala bisa timbul bila siswa dan guru BK berjenis kelamin beda. Kendala seperti ini tak perlu muncul dalam bibliokonseling. Dari buku yang diberikan oleh guru BK, siswa terbantu mendapatkan informasi lengkap tanpa harus merasa risi atau malu. Kelebihan lain bibliokonseling adalah siswa merasa lebih aman. Bagi kebanyakan siswa, pemanfaatan buku bacaan untuk mencari alternative solusi atas masalah yang dihadapi tanpa kawatir masalahnya diketahui oleh orang lain.
Dari hasil penelitian awal yang dilakukan di SMP Negeri 1 Tibawa menunjukkan bahwa nilai kejujuran siswa dalam kehidupan sehari-hari belum nampak dengan bagus. Hal ini dapat dilihat dari seringnya penjual di kantin sekolah atau koperasi siswa yang mengeluh karena barang jualan yang hilang, masih ada siswa yang tidak membayar makanan di kantin sekolah setelah makan, sering terjadi kehilangan uang ataupun dompet di dalam kelas.
Dari kenyataan tersebut dapat diindikasikan bahwa nilai kejujuran pada siswa belum cukup optimal atau masih ada sebagian siswa yang berperilaku tidak jujur. Hal itu dapat disebabkan karena kurangnya pemahaman siswa terhadap pentingnya perilaku jujur dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk membuat penelitian dengan formulasi judul ”Keefektifan penerapan bibliokonseling untuk meningkatkan perilaku jujur bagi siswa di SMP Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo”.

1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan pada penelitian ini adalah :
a. Rendahnya perilaku jujur siswa dalam kehidupan sehari-hari.
b. Kurangnya pemahaman siswa terhadap pentingnya perilaku jujur dalam kehidupan sehari-hari.
c. Rendahnya minat siswa dalam memanfaatkan bibliokonseling sebagai salah satu cara dalam mengembangkan pengetahuan tentang pentingnya perilaku jujur.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan maka dapat dirumuskan permasalahan adalah “Apakah penerapan bibliokonseling efektif dalam meningkatkan perilaku jujur bagi siswa SMP Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo?.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan penggunaan bibliokonseling dalam meningkatkan perilaku jujur siswa di SMP Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat teoritis
a. Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti mengenai masalah yang diteliti khususnya berkaitan dengan meningkatkan perilaku jujur siswa.
b. Sebagai latihan dan pengalaman dalam mempraktekkan teori yang diterima dibangku kuliah khususnya penerapan bibliokonseling.
1.5.2 Manfaat praktis
a. Bagi siswa dapat menigkatkan perilaku jujur suswa dalam memanfaatkan penerapan bibliokonseling di sekolah.
b. Bagi sekolah sebagai masukan dalam usaha meningkatkan kualitas peserta didik melalui penerapan bibliokonseling.
c. Bagi guru sebagai masukan untuk dapat melaksanakan kerjasama dengan guru bimbingan dan konseling dalam upaya meningkatkan karakter dan budi pekerti siswa yang baik khususnya dalam meningkatkan perilaku jujur.
d. Bagi orang tua dapat menambah kesadaran untuk lebih memberikan dukungan dan pembelajaran terhadap pendidikan karakter siswa.





















BAB II
KAJIAN TEORETIS

2.1 Hakikat Perilaku Jujur
2.1.1 Pengertian Perilaku Jujur
Perilaku jujur adalah perilaku yang teramat mulia. Namun saat ini, perilaku jujur sangat sulit ditemukan. Lihat saja bagaimana kita jumpai di sekolah, di kantor, di berbagai lingkungan kerja, perilaku jujur ini hampir saja tidak ditemukan, (http://rumaysho.com/belajar-islam/akhlak/3193-berlakulah-jujur. Html/diakses tanggal 14 November 2011). Jujur berarti berkata yang benar yang bersesuaian antara lisan dan apa yang ada dalam hati. Jujur juga secara bahasa dapat berarti perkataan yang sesuai dengan realita dan hakikat sebenarnya. Kebalikan jujur itulah yang disebut dusta.
Pembiasaan perilaku jujur di sekolah saat ini diterapkan melalui pendidikan karakter. Namun demikian, pendidikan karakter hanya akan menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh dan menyeluruh dalam konteks pendidikan nasional kita. Bahkan, pendidikan karakter tentang kejujuran yang dipahami secara parsial dan tidak tepat sasaran justru malah bersifat kontraproduktif bagi pembentukan karakter siswa. (http://mustafatope. wordpress.com/category/pendidikan-karakter/ diakses tanggal 14 November 2011).
Kejujuran dalam kamus bahasa Indonesia adalah perbuatan yang lurus hati, tulus, dan ikhlas. Sehingga kejujuran diartikan sebagai sifat atau keadaan jujur, ketulusan hati atau kelurusan hati. Dalarn arti lain kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana-mana yang antra lain, kejujuran adalah nilai kebaikan sebagai sifat positif yang akan diterima semua orang di manapun dan kapan pun berada. Jadi kejujuran adalah kebaikan yang bersifat universal (Pusat Bahasa
DEPDIKNAS, 2001:479).
Kejujuran dapat pula diartikan sebagai perbuatan mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran, kejujuran tidaklah selalu tepat arti harfiahnya, dalam arti memiliki batasan-batasan dan lebih bersifat kondisional dalam aplikasinya sepanjang tidak keluar dan tujuan dan makna dasar.
Individu yang jujur adalah individu mampu menghargai apa yang dimiliki. Hati yang jujur menghasilkan tindakan-tindakan yang jujur. Jika kejujuran sudah ada dan melekat pada diri individu maka akan mendatangkan banyak hal yang positif, individu tidak akan berfikir untuk melakukan hal yang curang. (http://pelangikejora.wordpress.comJ2009/02/1 5/honesty). Pendekatan parsial yang tidak didasari pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam diri anak, malah menjerumuskan mereka pada perilaku kurang bermoral.
Selama ini, jika kita berbicara tentang perilaku jujur, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang sering kali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan sering kali pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi pendidikan yang kokoh. Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah beramai- ramai membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Dengan penerapan ini diharapkan anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, di banyak tempat anak yang baik malah tergoda menjadi pencuri dan kantin kejujuran dinyatakan gagal dalam meningkatkan perilaku jujur pada diri anak. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang ingin dibentuk tidak disertai dengan pembangunan perangkat sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama. Tiap orang bisa tergoda menjadi pencuri jika ada kesempatan.
Menjaga keutuhan tentang pendidikan perilaku jujur semestinya terarah pada pengembangan kultur edukatif yang mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi yang integral. Adanya bantuan sosial untuk mengembangkan keutamaan merupakan ciri sebuah lembaga pendidikan. Dalam konteks kantin kejujuran, bantuan sosial ini tidak berfungsi sebab anak malah tergoda menjadi pencuri.
Kegagalan kantin kejujuran adalah sebuah indikasi bahwa para pendidik memiliki kesalahan pemahaman tentang makna kejujuran dalam konteks pendidikan. Mereka tidak mampu melihat persoalan yang lebih mendalam yang menggerogoti sendi pendidikan kita. Kejujuran semestinya tidak dipahami sekadar anak jujur membeli barang di toko. Padahal, di depan mata, nilai-nilai kejujuran dalam konteks pendidikan telah diinjak-injak, seperti mencontek, menjiplak karya orang lain, melakukan sabotase, vandalisme halaman buku yang disimpan di perpustakaan, dan simulasi, yaitu mengaku telah mengumpulkan dan mengerjakan tugas, padahal sebenarnya tidak. Hal-hal inilah yang mesti diseriusi oleh para pendidik jika ingin menanamkan nilai kejujuran dalam konteks pendidikan.
Mencontek telah menjadi budaya dalam lembaga pendidikan kita. Ia bukan hanya berkaitan dengan kelemahan individu per individu, melainkan telah membentuk sebuah kultur sekolah yang tidak menghargai kejujuran. Bentuk pembiaran perilaku ketidakjujuran itu telah menyerambah dalam diri para pendidik, siswa, dan anggota komunitas sekolah lain. Untuk itu, pendekatan yang lebih utuh dan integrallah yang dibutuhkan untuk melawan budaya tidak jujur ini.
Pendidikan tentang perilaku jujur jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata. Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.
Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran. Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama, (http:// muslim.or.id/ akhlaq - dan- nasehat/ jujur- kiat-menuju-selamat. html diakses tanggal 14 November 2011).
Pendidikan perilaku jujur hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan tersebut dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan tidak efektif.
2.1.2 Perintah untuk Berlaku Jujur Menurut Agama Islam
Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At Taubah: 119).
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
“Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21).
Dalam hadits dari sahabat 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta. Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”
Begitu pula dalam hadits dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
“Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.”
Jujur adalah suatu kebaikan sedangkan dusta (menipu) adalah suatu kejelekan. Yang namanya kebaikan pasti selalu mendatangkan ketenangan, sebaliknya kejelekan selalu membawa kegelisahan dalam jiwa.
2.1.3 Kelebihan Perilaku Jujur
Jika kita merenungkan, perilaku jujur sebenarnya mudah menuai berbagai keuntungan. Yang dimaksud keuntungan ini adalah tetap dan bertambahnya kebaikan. Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا - أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا - فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu.”
Di antara keberkahan sikap jujur ini akan memudahkan kita mendapatkan berbagai jalan keluar dan kelapangan. Coba perhatikan baik-baik perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan surat At Taubah ayat 119. Beliau mengatakan, “Berlaku jujurlah dan terus berpeganglah dengan sikap jujur. Bersungguh-sungguhlah kalian menjadi orang yang jujur. Jauhilah perilaku dusta yang dapat mengantarkan pada kebinasaan. Moga-moga kalian mendapati kelapangan dan jalan keluar atas perilaku jujur tersebut.”
2.1.4 Akibat Berperilaku tidak Jujur
Dusta adalah dosa dan ‘aib yang amat buruk. Di samping berbagai dalil dari Al Qur’an dan dan berbagai hadits, umat Islam bersepakat bahwa berdusta itu haram. Di antara dalil tegas yang menunjukkan haramnya dusta adalah hadits berikut ini,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu ada tiga, dusta dalam perkataan, menyelisihi janji jika membuat janji dan khianat terhadap amanah.”
Dari berbagai hadits terlihat jelas bahwa sikap jujur dapat membawa pada keselamatan, sedangkan sikap dusta membawa pada jurang kehancuran. Di antara kehancuran yang diperoleh adalah ketika di akhirat kelak. Kita dapat menyaksikan pada hadits berikut,
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ : الْمَنَّانُ, الْمُسْبِلُ إِزَارَهُ وَالْمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلَفِ الْكَاذِبِ
“Tiga (golongan) yang Allah tidak berbicara kepada mereka pada hari Kiamat, tidak melihat kepada mereka, tidak mensucikan mereka dan mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih, yaitu: orang yang sering mengungkit pemberiannya kepada orang, orang yang menurunkan celananya melebihi mata kaki dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah dusta.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu mencela orang yang tidak transparan dengan menyembunyikan ‘aib barang dagangan ketika berdagang. Coba perhatikan kisah dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, "Apa ini wahai pemilik makanan?" Sang pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami." Jika dikatakan bukan termasuk golongan kami, berarti dosa menipu bukanlah dosa yang biasa-biasa saja.
2.2 Hakikat Bibliokonseling
2.2.1 Pengertian Bibliokonseling
Bibliokonseling merupakan nama lain dan diadaptasi dan biblioterapi yaitu merupakan teknik yang sudah dipraktikkan untuk mengubah tingkah laku manusia (Brammer dan Shostrom,1982). Ide pemanfaatan bahan bacaan sebagai media terapi pada zaman itu tak dapat dilepaskan. Orang dewasa sebaiknya menyeleksi cerita dan kisah yang diperdengarkan pada anak-anak mereka sebab hal itu dapat menjadi model cara berpikir dan budi pekerti anak di masa-masa selanjutnya.
Bibliokonseling adalah teknik bimbingan yang dilakukan dengan menggunakan buku atau cerita yang di dalamnya terdapat ajaran tentang berperilaku peduli. Buku merupakan media untuk memperoleh wawasan, pengetahuan, informasi, dan hiburan. Selain itu, buku dapat menjadi media terapi atau penyembuhan bagi penderita gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, trauma, dan stres. Pemanfaatan buku sebagai media terapi disebut biblioterapi. Jachna (2005:1) mengatakan biblioterapi adalah dukungan psikoterapi melalui bahan bacaan untuk membantu seseorang yang mengalami permasalahan personal. Metode terapi ini sangat dianjurkan, terutama bagi para penderita yang sulit mengungkapkan permasalahannya secara verbal (Suparyo, 2010).
Bibliokonseling juga dapat diartikan suatu kegiatan mengintervensi pemikiran individu dengan rnenggunakan suatu bacaan, sehingga setelah membaca bacaan tersebut, individu dapat mendapatkan informasi baru dan dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bibliokonseling adalah bimbingan belajar yang membantu individu secara mandiri untuk memahami din dan lingkungan, belajar dan lingkungan luar, dan menemukan solusi dan permasalahan. (Schrank and Engels, 1981, dalam Lasan).
Melalui bibliokonseling, disajikan informasi yang dibutuhkan atau sesuai dengan permasalahan, yaitu yang berkaitan dengan kesadaran akan kejujuran. Dengan mengetahui informasi yang ada dalam bacaan, individu dapat membentuk tingkah lakunya secra umum, dan secara khusus membentuk sikap dan kesadarannya.
Penggunaan bibliokonseling dianggap efektif dalam mengembangkan kesadanan akan kejujuran karena menurut Brammer dan Shostrom (1982) intervensi bibliokonseling dapat dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan, yaitu intelektual, sosial, perilaku, dan emosional. Pertama, pada tingkat intelektual, individu memperoleh pengetahuan tentang perilaku yang dapat memecahkan masalah. Dengan bacaan, individu memperoleh wawasan tentang keanekaragaman manusia dengan berbagai nilai-nilai kehidupan. Melalui bahan
Jadi, bibliokonseling dapat dimaknai sebagai upaya penyembuhan lewat buku. Bahan bacaan berfungsi untuk mengalihkan orientasi dan memberikan pandangan-pandangan yang positif sehingga menggugah kesadaran individu untuk bangkit menata hidupnya.
2.2.2 Tujuan Bibliokonseling
Tujuan bibliokonseling pada dasarnya sama dengan tujuan bimbingan yaitu membantu para anggota agar dapat membantu dirinya sendiri. Melalui bibliokonseling, disajikan informasi yang dibutuhkan atau sesuai dengan nilai karakter yang ingin mereka bangun. Dengan mêngetahui informasi yang ada dalam bahan bacaan, mereka dapat membentuk tingkah lakunya secara umum, secara khusus membentuk sikap, persepsi, mengubah prasangka sosial dan perubahan Iainnya. Tujuan semacam mi sebenarnya sudah tersirat dalam definisi bibliokonseling. Selain itu tujuan dan bibliokonseling, yaitu mendampingi seseorang yang tengah mengalami emosional yang berkecamuk karena permasalahan yang dihadapi dengan menyediakan bahan-bahan bacaan dengan topik yang tepat dan mengandung nilai-nilai karakter yang ingin dibangun pada din individu yang bersangkutan. Bibliokonseling juga dapat dijadikan sebagai stimulasi pikiran yang memungkinkan para anggota dapat menyilangkan gagasan- gagasan sehingga kesadarannya menjadi meningkat.
2.2.3 Tingkat Intervensi Bibliokonseling
Lewat membaca seseorang bisa mengenali dirinya. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh dan kegiatan membaca menjadi masukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi seseorang. Saat membaca, pembaca menginterpretasi jalan pikiran penulis, menerjemahkan simbol dan huruf ke dalam kata dan kalimat yang memiliki makna tertentu, seperti rasa haru dan simpati. Perasaan ini dapat ‘membersihkan din” dan mendorong sesorang untuk berperilaku lebih positif.
Menurut Novitawati (Suparyo, 2010) intervensi bibliokonseling dapat dike1ompokkn dalam empat tingkatan, yaitu intelektual, sosial, perilaku, dan emosional. Pertama, pada tingkat intelektual individu mernperoleh pengetahuan tentang perilaku yang dapat memecahkan masalah, membantu pengertian din, serta mendapatkan wawasan intelektual. Kedua, di tingkat sosial, individu dapat mengasah kepekaan sosialnya. Ia dapat melampaui bingkai referensinya sendiri melalui imajinasi orang lain. Teknik ini dapat menguatkan pola-pola sosial, budaya, menyerap nilai kemanusiaan dan saling memiliki. Ketiga, tingkat perilaku individu akan mendapatkan kepercayaan diri untuk membicarakan masalah-masalah yang sulit didiskusikan akibat perasaan takut, malu, dan bersalah. Lewat membaca, individu didorong untuk diskusi tanpa rasa malu akibat rahasia pribadinya terbongkar. Keempat, pada tingkat emosional, individu dapat terbawa perasaannya dan mengembangkan kesadaran menyangkut wawasan emosional. Teknik ini dapat menyediakan solusi-solusi terbaik dan rujukan masalah sejenis yang telah dialami orang lain sehingga merangsang kemauan yang kuat pada individu untuk memperbaiki diri.
2.2.4 Jenis dan Fungsi Bibliokonseling
Berry (Brammer dan Shostrom, 1982) membagi bibiokonseling menjadi dua yaitu klinis dan pendidikanlhumanistik. Jenis terapi klinis dijalankan oleh orang- orang yang bergerak dalam profesi kesehatan mental misalnya psikiater, psikolog, konselor, dan pekerja sosial. Jenis pendidikan atau humanistik dilaksanakan oleh konselor, guru, dan petugas pendidikan lain dalam latar pendidikan.
Dalam jenis pendidikan atau humanistik, bibliokonseling dapat memperluas pandangan seseorang tentang perbedaan kondisi manusia, Dengan membaca, mereka dapat memperoleh wawasan tentang keanekaragaman nilai- nilai yang dianggap berharga bagi manusia. Bibliokonseling memiliki kelebihan dibandingkan dengan kontak langsung dengan konseling. Oleh sebab itu, bibliokonselig dapat menjamin kebebasan pnibadi dan melindungi rahasia konseli kareià biasanya mereka takut dan cemas membuka hal- hal pribadi seperti cinta, takut, benci, kebiasaan buruk dan sebagainya. Kelebihan lain adalah buku atau bacaan yang sudah disiapkan sewaktu-waktu siap pakai dan dapat direvisi lagi jika perlu.
Bibliokonseling dapat disampaikan secara individual maupun kelompok. Pada individual bibliokonseling, bahan-bahan yang dibutuhkan harus bersifat khusus dan rinci. Konseli harus membaca bahan bacaan atau literatur yang sesuai dengan kesukaannya. Kegiatan apa yang akan ditindaklanjuti juga bisa disampaikan secara individual pada konseli. Konseli membahas kisah dalam buku dengan pembimbing, menulis laporan, merekam dalam perekam suara, atau mengungkapkan reaksinya. Melalui proses ini konseli mampu membongkar beban emosi dan meninggalkan tekanan emosional. Selain itu, dengan pemeriksaan dan analisis nilai-nilai moral dan stimulasi pemikiran kritis, konseli bisa mengembangkan kesadaran din, meningkatkan konsep din, dan memperbaiki penilaian pribadi dan sosial. Hasilnya ada perbaikan perilaku, kemampuan untuk menangani dan memahami masalah kehidupan yang penting, dan peningkatan empati, toleransi, respect. Semuanya bisa dilakukan melalui identifikasi dengan bahãn bacaan yang sesuai.
Penerapan bibliokonseling seacara kelompok yaitu konseli membaca literatur lisan atau mendengarkan sementara orang lain membacakan untuk mereka. Diskusikan secara kelompok dan konseli akan menyadari bahwa mereka tidak sendirian, masalah-masalah bisa dirasakan oleh orang lain. Meskipun bibliokonseling mendorong perubahan secara individual, hal ini hanya digunakan terbatas pada saat dimana krisis hadir. Bagaimanapun itu bukan obat yang menghilangkan semua masalah psikologis yang telah mengakar secara mendalam. Masalah-masalah mendalam tetap harus dilayani melalui intervensi terapi lebih intensif. Konseli usia remaja dirasa sudah bisa melihat din lewat cermin sastra dan literatur. Konseli usia remaja mungkin cenderung untuk merasionalisasi masalah mereka daripada yang mereka hadapi. Namun orang lain mungkin tidak dapat mentransfer wawasan ke dalam kehidupan nyata.
2.2.5 Tahapan Bibliokonseling
Oslen (2006) menyarankan lima tahap penerapan bibliokonseling, baik dilakukan secara pribadi maupun kelompok (http://kombinasi.net /biblioterapikekuatan-penyernbuhan-lewat- pengetahuan 18/10/10) meliputi:
a. Pertama, awali dengan motivasi. Peneliti/konselor dapat memberikan kegiatan pendahuluan, seperti permainan atau bermain peran, yang dapat mernotivasi konseli untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan treatment.
b. Kedua, memberikan waktu yang cukup untuk membaca bahan-bahan bacaan yang telah disiapkan hingga selesai. Sebelumnya, peneliti/konselor sudah memahami benar bahan-bahan bacaan yang disediakan.
c. Ketiga, Lakukan inkubasi. Peneliti/konselor memberikan waktu pada konseli untuk merenungkan dan merefleksi materi yang baru saja mereka baca.
d. Keempat, tindak lanjut. Sebaiknya tindak lanjut dilakukan dengan metode diskusi. Melalui diskusi konseli mendapatkan ruang untuk saling bertukar pandangan sehingga memunculkan gagasan baru. Kemudian, peneliti/konselor membantu konseli untuk merealisasikan pengetahuan itu dalam hidupnya.
e. Kelima, evaluasi. Sebaiknya evaluasi dilakukan secara mandini oleh konseli. Hal ini dilakukan untuk memancing konseli memperoleh kesimpulan yang tuntas dan memahami arti pengalaman yang dialami.

2.3 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teoritis di atas maka hipotesis tindakan untuk penelitian ini adalah “Penerapan bibliokonseling efektif dalam meningkatkan perilaku jujur siswa di SMP Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo”.


BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Dalam penelitan ini, metode yang di gunakan adalah metode eksperimen semu dengan desain pretes dan postes terhadap perilaku jujur siswa di SMP Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Pelaksanaan penelitian tindakan kelas berlangsung selama tiga bulan, yaitu dari bulan November sampai dengan Januari tahun 2012. Yang menjadi subyek dalam penelitian tindakan kelas ini adalah siswa kelas IX SMP Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo yang berusia rata-rata 12 - 13 tahun.
3.3 Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen semu.
Pre-test Treatment Post-test
X1 T X2

Keterangan :
X1 = Pre-Test perilaku jujur siswa sebelum diterapkan bibliokonseling
X1 = Pos-Test perilaku jujur siswa setelah diterapkan bibliokonseling
T = penerapan bibliokonseling

3.4 Definisi Operasional Variabel
Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) variable yaitu : (1) perilaku jujur adalah variabel dependent . Sedangkan penerapan bibliokonseling sebagai variable independen.
Indikator perilaku jujur siswa adalah sebagai berikut :
a. Mampu berperilaku jujur terhadap guru
b. Mampu melakukan perilaku jujur di dalam pergaulan/teman sebaya
c. Mampu melakukan perilaku jujur terhadap orang tua
Sedangkan penerapan bibliokonseling diterapkan dengan indikator sebagai berikut :
a. Kegiatan membaca siswa
b. Merefleksikan isi bacaan
c. Membuat kesimpulan tentang isi bacaan
d. Membuat komitmen terhadap perilaku siswa
3.5 Populasi dan Sampel
3.5.1 Populasi
Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai populasi adalah seluruh siswa di SMP Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo. Yang berjumlah 383 dan tersebar kedalam 6 rombongan belajar

3.5.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 siswa berasal dari perwakilan Kelas VIII dan IX SMP Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo dan digabung menjadi 1 kelompok.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang di inginkan dan sesuai dengan kepentingan peneliti, maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui pre-test dan pos-test. Pre-test dilakukan untuk mengumpulkan data tentang perilaku jujur siswa di sekolah sebelum dilakukan Treatment. Pelaksanaannya dilakukan dengan menggunakan angket sedang observasi dan wawancara adalah penunjang. Pos-Test dilakukan untuk mengumpulkan data tentang perilaku jujur suswa di sekolah setelah dilakukan Treatment. Adapun cara pengumpulan data sama dengan apa yang dilakukan sebelumnya pada Pre-Test.
3.7 Teknik Analisis Data
3.7.1 Uji Normalitas Data
Untuk kepentingan pengujian normalitas data dapat digunakan rumus sebagai berikut :

Oi = Frekuensi Observasi

3.7.2 Uji Hipotesis

Keterangan :
X1 : Rata-rata skor pertama
X2 : Rata-rata skor kedua
S : Varians gabungan
n1 : Jumlah sampel pertama
n2 : Jumlah sampel ke dua