Jumat, 16 Desember 2011

Kemampuan Menyesuaikan Diri


Setiap kegiatan manusia hampir tidak pernah lepas dari unsur sosial budaya. Sosial mengacu kepada hubungan antarindividu, antarmasyarakat, dan individu dengan masyarakat. Karena itu aspek sosial melekat pada diri individu yang perlu dikembangkan dalam perjalanan hidup peserta didik agar menjadi matang, karena itu dalam proses pendidikan pengembangan aspek sosial perlu diperhatikan. Sama halnya dengan sosial, aspek budaya juga sangat berperan dalam proses pendidikan. Selain sebagai individu, manusia juga sebagai makhluk sosial yang berbaur dalam satu kelompok masyarakat. Masyarakat sebagai suatu kelompok juga memiliki keragaman dan perbedaan dalam ras, suku, jenis kelamin, agama, status ekonomi, status sosial, budaya, daerah tempat tinggal yang membentuk keragaman dalam suatu lingkungan sosial budaya tertentu.
Lingkungan dan kognisi merupakan kunci keberhasilan dalam perkembangan. Apabila organisme berada dalam lingkungan sosial maka ia akan belajar secara cepat melalui proses observasi pada perilaku orang lain. Ketika mengobservasi perilaku orang lain maka ia akan melibatkan fungsi kognitif, dan ketika mengulang-ulang perilaku terjadilah penguatan yang luar biasa pada kemampuan menyesuaikan diri pada anak.
Kemampuan menyesuaikan diri pada anak akan membuatnya mudah belajar tentang perilaku sosial seperti berbagi, berempati, menolong teman, memahami dan mengerti antar sesama teman, serta harus mandiri. Dengan semakin banyak teman, anak pun akan kaya dengan pengalaman.  Hal ini berbeda dengan anak seusianya yang jarang berinteraksi dengan teman sebayanya di sekitar rumah; ia akan cenderung menjadi ’raja’ atau ’ratu’ yang harus dilayani, diperhatikan, dan diutamakan. Hal ini akan menghambat perkembangan psikososialnya. Pandangan yang menyatakan bahwa keberhasilan pada anak hanya dipengaruhi oleh faktor kecerdasan dan mengabaikan kemampuan menyesuaikan diri merupakan hal yang kurang tepat. Dengan kemampuan menyesuaikan diri anak mengerti dan peduli terhadap orang lain, saling menghargai, dan tolong menolong.
 

A. Pengertian Kemampuan Menyesuaikan Diri
Kemampuan penyesuasian diri anak, sangat erat hubungannya dengan mutu atau kualitas suatu lingkungan, baik keluarga, maupun lingkungan masyarakat secara luas. Sebab kemampuan penyesuasian diri yang dimiliki individu dihasilkan melalui interaksi dan pengamatan sehari-hari mereka dengan orang atau lingkungan di sekelilingnya.
Menurut Hartinah (2010:184) Penyesuaian diri dapat diartikan atau dideskripsikan sebagai berikut:
a.       Penyesuaian berarti adaptasi; dapat mempertahankan eksistensinya, atau bisa survive dan memperoleh kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah, dan dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan sosial.
b.      Penyesuaian dapat juga diartikan sebagai konformitas, yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip.
c.      
Penyesuaian dapat diartikan sebagal penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi respon-respon sede- mikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustasi-frustasi secara efisien. Individu memiliki kemampuan meng- hadapi realitas hidup dengan cara yang adekuat/memenuhi syarat.
d.      Penyesuaian dapat diartikan penguasaan dan kematangan emosional.
Kematangan emosional maksudnya ialah secara positif memiliki respon emosional yang tepat pada setiap situasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian adalah usaha
manusia untuk mencapai keharmonisan pada din sendini dan pada Iingkung annya.
Sehubungan dengan faktor penentu kemampuan penyesuaian diri, Surya (Herimanto & Winarno, 2010:18), menjelaskan bahwa penentu-penentu penyesuaian diri identik dengan faktor yang menentukan perkembangan kepribadian, adapun penentu-penentu yang dimaksud adalah: (1) kondisi jasmaniah yang melipti pembawaan, susunan jasmaniah, sistem syaraf, kelenjar otot, kesehatan, dan lain-lain; (2) perkembangan dan kematangan yang meliputi kematangan intelektual, sosial, moral, dan emosional; (3) penentu psikologis yang meliputi pengalaman belajar, pembiasaan, frustasi, dan konflik; (4) kondisi lingkungan yang meliputi rumah, sekolah, dan masyarakat, (5) penentu kultural berupa kebudayaan dan agama.
Menurut Hasan (2000:74) menyatakan bahwa menyesuaikan diri adalah satu konsep umum yang bisa dimaknakan sebagai sebuah proses di mana kita belajar melalui interaksi dengan orang lain, tentang cara berpikir, merasakan, dan bertindak, di mana kesemuanya itu merupakan hal-hal yang sangat penting dalam menghasilkan partisipasi sosial yang efektif. Sosialisasi merupakan proses yang terus terjadi selama hidup kita. Penyesuaian diri adalah proses bagaimana individu mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungan, Hartinah (2010:184).
Sesuai dengan pengertian tersebut, maka tingkah laku manusia dapat dipandang sebagai reaksi terhadap berbagai tuntutan dan tekanan lingkungan tempat ia hidup seperti cuaca dan berbagai unsur alami lainnya. Semua mahluk hidup secara alami dibekali kemampuan untuk menolong dirinya sendiri dengan cara menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan materi dan alam agar dapat bertahan hidup. Dalam istilah psikologi, penyesuaian (adaptation dalam istilah Biologi) disebut dengan istilah adjusment.
Adjustment itu sendiri merupakan suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan tuntutan lingkungan (Mutadin, 2010). Manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan dan lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu sendiri secara alamiah juga mendorong manusia untuk terus-menerus menyesuaikan diri. 
Sebagai makhluk sosial, individu dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan  yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku. Oleh karena itu setiap individu dituntut untuk menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Ketrampilan-ketrampilan tersebut biasanya disebut sebagai aspek psikososial. Ketrampilan tersebut harus mulai dikembangkan sejak masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup buat anak-anak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan tugas dan tanggungjawab sesuai perkembangan anak, dsb. Dengan mengembangkan ketrampilan tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat. 
Keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri menjadi semakin penting dan krusial manakala anak sudah menginjak masa remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. Kegagalan remaja dalam menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial akan menyebabkan dia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif (misalnya asosial ataupun anti sosial), dan bahkan  dalam perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan.
Sebagai pribadi sosial, individu harus mampu menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain, baik dalam bentuk hubungan yang mendalam maupun tidak mendalam, memiliki rasa aman, dan menerima din sendiri. Individu harus memiliki orientasi yang realistik baik terhadap dirinya sendiri, maupun terhadap kenyataan luar. Menurut Hutagalung (2007:10) ada dua komponen pokok dalam mengembangkan kemampuan menyesuaikan diri yaitu: (1) Humor, disini tidak hanya berarti kecakapan untuk mendapat- kan kesenangan dan hal yang dapat ditertawakan, tetapi juga kecakapan untuk membina dan mempertahankan hubungan positifdengan din sendiri dan obyek yang disenangi, dan pada
saat yang sama mampu melihat kejanggalan dan kemustahilan
dalam hubungan itu. (2) Insight, kemampuan individu untuk mengerti dan memahami dirinya sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya. Atas dasar pengertian tersebut  dapat diberikan batasan bahwa kemampuan manusia sanggup untuk membuat hubungan-hubungan yang menyenangkan antara manusia dengan lingkungannya.

B. Karakteristik Penyesuaian Diri
Tidak selamanya individu berhasil dalam melakukan penyesuaian diri, karena kadang-kadang ada rintangan-rintangan tertentu yang menyebabkan tidak berhasil melakukan penyesuaian diri. Rintangan-rintangan itu mungkin terdapat dalam dirinya atau mungkin di luar dirinya. Dalam hubungannya dengan rintangan-rintangan tersebut ada individu-individu yang dapat melakukan
penyesuaian din secara positif, namun ada pula individu-individu yang mela- kukan penyesuaian diri yang salah. Berikut ini akan ditinjau karakteristik penyesuaian diri yang positif dan penyesuaian diri yang salah menurut Hartinah (2010:186-187) adalah sebagai berikut.
1)      Penyesuaian diri secara positif
Mereka yang tergolong mampu melakukan penyesuaian diri secara positif ditandai hal-hal sebagai berikut:
a.       Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional.
b.      Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis.
c.       Tidak menunjukkan adanya frustrasi pribadi.
d.      Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri.
e.       Mampu dalam belajar
f.       Menghargai pengalaman
g.      Bersikap realistic dan objektif.
Dalam melakukan penyesuaian din secara positif, individu akan melakukannya dalam berbagai bentuk, antara lain:
a.       Penyesuaian dengan mengahadapi masalah secara langsung
Pada situasi ini individu secara langsung menghadapi masalahnya dengan segala akibat-akibatnya. Ia melakukan segala tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Misalnya seorang siswa yang terlambat dalam menyerahkan tugas karena sakit, maka Ia menghadapinya secara langsung, ia mengemukakan segala masalahnya kepada gurunya.
b.       Penyesuaian dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan)
Pada situasi ini individu mencari berbagai bahan pengalaman untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya. Misalnya: seorang siswa yang merasa kurang mampu dalam mengerjakan tugas, ía akan mencari bahan dalam upaya menyelesaikan tugas tersebut, dengan membaca buku, konsultasi, diskusi dan sebagainya.
c.       Penyesuaian dengan trial and error atau coba-coba
Dengan cara ini individu melakukan suatu tindakan coba-coba, dalam arti kalau menguntungkan diteruskan dan kalau gagaltidakditeruskan. Taraf pemikiran kurang begitu berperan dibandingkan dengan cara eksplorasi.
d.      Penyesuaian dengan substitusi (mencari pengganti)
Jika individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, maka ja
dapat memperoleh penyesuaian dengan jalan mencari pengganti.
Misalnya gagal nonton film di gedung bioskop, dia pindah nonton
TV.
e.       Penyesuaian din dengan menggali kemampuan diri
 Dalam hal ini individu mencoba menggali kemampuan-kemampuan khusus dalam dirinya, dan kemudian dikembangkan sehingga dapat membantu penyesuaian din. Misalnya seorang siswa yang mempunyai kesulitan dalam keuangan, berusaha mengembangkan kemampuannya dalam menulis (mengarang). Dan usaha mengarang ía dapat membantu mengatasi kesulitan dalam keuangan.
f.       Penyesuaian dengan belajar
Dengan belajar, individu akan banyak mempenoleh pengetahuan dan keterampilan yang dapat membantu menyesuaikan din. Misalnya seorang guru akan lebih dapat menyesuaikan din dengan banyak belajan tentang berbagai pengetahuan keguruan.
g.      Penyesuaian dengan inhibisi dan pengendalian diri.
Penyesuaian diri akan lebih berhasil jika disertai dengan kemampuan memilih tindakan yang tepat dan pengendalian diri secara tepat pula. Dalam situasi ini individu berusaha memilih tindakan mana yang harus dilakukan, dan tindakan mana yang tidak penlu dilakukan. Cara inilah yang disebut inhibisi. Di samping itu, individu harus mampu mengendalikan dirinya dalam melakukan tindakannya.
h.      Penyesuaian dengan perencanaan yang cermat
Pada situasi ini tindakan yang dilakukan merupakan keputusan yang diambil berdasarkan perencanaan yang cermat. Keputusan diambil setelah dipertimbang kan dan berbagai segi, antara lain segi untung dan ruginya.
2)      Penyesuaian Diri yang Salah
Kegagalan dalam melakukan penyesuaian diri secara positif, dapat mengakibatkan individu melakukan penyesuaian yang salah. Penyesuaian diri yang salah ditandai dengan berbagai bentuk tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik, agnesif dan sebagainya. Ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah yaitu : (1) reaksi bertahan, (2) neaksi menyerang, dan (3) reaksi melarikan diri.
C. Faktor  Penentu Kemampuan Menyesuaikan Diri pada Anak
Makna akhir hasil pendidikan seseorang individu terietak pada sejauh mana hal yang telah dipelajari dapat membantunya dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan pada tuntutan masyarakat. Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang didapat di sekolah dan di luar sekolah memiliki sejumlah pengetahuan, kecakapan, minat-minat, dan sikap-sikap. Dengan pengalaman-pengalaman itu ia secara berkesinambungan dibentuk menjadi seorang pribagi seperti apa yang dia miliki sekarang dan menjadi seorang pribadi tertentu di masa mendatang.
Selanjutnya Mutadin (2002 dalam http://www.e-psikologi.com/epsi/ individual_detail.asp?id=390. [9 April 2002]), mengemukakan bahwa pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan lingkungannya, beberapa faktor yang dianggap dapat menciptakan penyesuaian diri yang cukup sehat bagi anak, di antaranya adalah:
a)      Keluarga yang aman, cinta, respek, toleran, dan memiliki kehangatan.
Lingkungan keluarga juga merupakan lahan untuk mengembangkan berbagai kemampuan, yang dipelajari melalui permainan, senda gurau, sandiwara dan pengalaman-pengalaman sehari-hari di dalam keluarga. Tidak diragukan lagi bahwa dorongan semangat dan persaingan antara anggota keluarga yang dilakukan secara sehat memiliki pengaruh yang penting dalam perkembangan kejiwaan seorang individu. Oleh sebab itu, orangtua sebaiknya jangan menghadapkan individu pada hal-hal yang tidak dimengerti olehnya atau sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan olehnya, sebab hal tersebut memupuk rasa putus asa pada jiwa individu tersebut.
Dalam keluarga individu juga belajar agar tidak menjadi egois, ia diharapkan dapat berbagi dengan anggota keluarga yang lain. Individu belajar untuk menghargai hak orang lain dan cara penyesuaian diri dengan anggota keluarga, mulai orang tua, kakak, adik, kerabat maupun pembantu. Kemudian dalam lingkungan keluarga individu mempelajari dasar dari cara bergaul dengan orang lain, yang biasanya terjadi melalui pengamatan terhadap tingkah laku dan reaksi orang lain dalam berbagai keadaan. Biasanya yang menjadi acuan adalah tokoh orang tua atau seseorang yang menjadi idolanya. Oleh karena itu, orangtua pun dituntut untuk mampu menunjukkan sikap-sikap atau tindakan-tindkan yang mendukung hal tersebut.
Hasil interaksi dengan keluarganya individu juga mempelajari sejumlah adat dan kebiasaan makan, minum, berpakaian, cara berjalan, berbicara, duduk dan lain sebagainya. Selain itu dalam keluarga masih banyak hal lain yang sangat berperan dalam proses pembentukan kemampuan penyesuaian diri yang sehat, seperti rasa percaya pada orang lain atau diri sendiri, pengendalian rasa ketakutan, toleransi, kefanatikan, kerjasama, keeratan, kehangatan dan rasa aman karena semua hal tersebut akan berguna bagi masa depannya.
b)      Teman Sebaya.
Dalam kehidupan pertemanan, pembentukan hubungan yang erat di antara kawan-kawan semakin penting pada masa siswa dibandingkan masa-masa lainnya. Suatu yang sulit bagi siswa adalah menjauh dari temannya, individu mencurahkan kepada teman-temannya apa yang tersimpan di dalam hatinya, dari angan-angan, pemikiran dan perasaan. Ia mengungkapkan kepada mereka secara bebas tentang rencananya, cita-citanya dan dorongan-dorongannya. Dalam semua itu individu menemukan telinga yang mau mendengarkan apa yang dikatakannya dan hati yang terbuka untuk bersatu dengannya.
Dengan demikian pengertian yang diterima dari temanya akan membantu dirinya dalam penerimaan terhadap keadaan dirinya sendiri, ini sangat membantu diri individu dalam memahami pola-pola dan ciri-ciri yang menjadikan dirinya berbeda dari orang lain. Semakin mengerti ia akan dirinya maka individu akan semakin meningkat kebutuhannya untuk berusaha untuk menerima dirinya dan mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Sehingga ia akan menemukan cara penyesuaian diri yang tepat sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
c)      Sekolah
Sekolah mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah pengetahuan dan informasi, tetapi mencakup tanggungjawab pendidikan secara luas. Demikian pula dengan guru, tugasnya tidak hanya mengajar, tetapi juga berperan sebagai pendidik yang menjadi pembentuk masa depan, ia adalah langkah pertama dalam pembentukan kehidupan yang menuntut individu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Pendidikan modern menuntut guru atau pendidik untuk mengamati perkembangan individu dan mampu menyusun sistem pendidikan sesuai dengan perkembangan tersebut.
Dalam pengertian ini berarti proses pendidikan merupakan penciptaan penyesuaian antara individu dengan nilai-nilai yang diharuskan oleh lingkungan menurut kepentingan perkembangan dan spiritual individu. Keberhasilan proses ini sangat bergantung pada cara kerja dan metode yang digunakan oleh pendidik dalam penyesuaian tersebut. Jadi di sini peran guru sangat berperan penting dalam pembentukan kemampuan penyesuaian diri individu.
Untuk membantu tumbuhnya kemampuan penyesuaian diri, maka sejak awal anak diajarkan untuk lebih memahami dirinya sendiri (kelebihan dan kekurangannya) agar ia mampu mengendalikan dirinya sehingga dapat bereaksi secara wajar dan normatif.  Agar anak dan remaja mudah menyesuaikanan diri dengan kelompok, maka tugas orang tua/pendidik adalah membekali diri anak dengan membiasakannya untuk menerima dirinya, menerima orang lain, tahu dan mau mengakui kesalahannya, dsb. Dengan cara ini, remaja tidak akan terkejut menerima kritik atau umpan balik dari orang lain/kelompok, mudah membaur dalam kelompok dan memiliki solidaritas yang tinggi sehingga mudah diterima oleh orang lain/kelompok.
Selain itu anak harus diajarkan sejak dini untuk dapat memilih prioritas tugas-tugas yang harus segera diatasi, bukan menunda atau mengalihkan perhatian pada tugas yang lain. Karena itu sejak awal sebaiknya orang tua atau pendidik telah memberikan bekal agar anak dapat memilih mana yang penting dan mana yang kurang penting melalui pendidikan disiplin, tata tertib dan etika.
Menurut Enung (2008: 204) pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan lingkungannya, pada penulisan ini beberapa lingkungan yang dianggap dapat menciptakan penyesuaian diri yang cukup sehat bagi remaja, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.   Lingkungan keluarga
Semua konflik dan tekanan yang ada dapat dihindari dengan cara memberi solusinya apa bila individu dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang dimana tempat, keamanan, cinta, respek, toleransi dan kehangatan dapat terpenuhi. Dengan demikian penyesuaian diri akan menjadi lebih baik bila dalam keluarga individu merasakan bahwa kehidupannya berarti.
Rasa takut dengan keluarga adalah salah satu kebutuhan pokok bagi perkembangan jiwa seorang individu. Dalam prakteknya banyak orang tua yang mengetahui hal ini namun mengabaikannya dengan alasan mengejar karir dan mencari penghasilan yang besar demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan menjamin masa depan anak-anak. Hal ini seringkali ditanggapi negatif oleh anak dengan merasa dirinya tidak disayangi, diremehkan bahkan dibenci. Bila hal tersebut terjadi berulang-ulang dalam jangka waktu yang cukup panjang (terauma pada masa kanak-kanak) maka akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan individu dalam menyesuaikan diri dikemudian hari. Meskipun pada remaja hal ini kurang berpengaruh, karena remaja sudah lebih matang tingkat pemahamannya, namun tidak menuntut kemungkinan pada beberapa remaja kondisi tersebut akan membuat dirnya tertekan, cemas dan stres (Sunarto, 2008: 229).
Berdasarkan kenyataan tersebut diatas pemenuhan kebutuhan anak akan rasa kekeluargaan harus diperhatikan. Orang tua harus terus berusaha untuk meningkatkan kuwalitas pengasuhan, pengawasan dan penjagaan pada anak, jangan semata-mata menyerahkan pada pembantu. Jangan sampai semua urusan makan dan pakaian diserahkan pada orang lain karena hal demikian dapat membuat anak tidak memiliki rasa aman terhadap keluarganya.
Lingkungan keluarga merupakan lahan untuk pengembangan berbagai kemampuan, yang dipelajari melalui permainan, senda gurau, sandiwara pengalaman-pengalaman sehari-hari di dalam keluarga. Tidak diragukan lagi bahwa dorongan semangat dan persaingan antara anggota keluarga yang dilakukan secara sehat memiliki pengaruh yang penting dalam perkembagan kejiwaan seorang anak. Oleh sebab itu, orang tua sebaiknya jangan menghadapkan anak pada  hal-hal yang tidak dimengerti olehnya atau sesuatu yang sangat sulit untuk dilakuakan olehnya, sebab hal tersebut memupuk rasa putus asa pada jiwa anak tersebut (Sunarto, 2008: 229).
Dalam lingkungan keluarga anak belajar agar tidak menjadi egois, ia diharapkan dapat berbagi dengan anggota keluarga yang lain. Anak belajar untuk menghargai hak orang lain dan cara penyesuaian diri dengan anggota keluarga, mulai dari orang tua, kakak, adik, kerabat maupun pembantu. Kemudian dalam lingkungan keluarga anak mempelajari dasar cara bergaul dengan orang lain, yang biasanya terjdi melalui pengamatan terhadap tingkah laku dan reaksi orang lain dalam berbagai keadaan. Biasanya yang menjadi acuan adalah tokoh orang tua atau seseorang yang menjadi idolanya. Oleh karena itu, orang tua pun dituntut untuk mampu menunjukkan sikap-sikap atau tindakan-tindakan yang mendukung hal tersebut.
Dalam hasil interaksi dengan keluarganya anak mempelajari sejumlah adat dan kebiasaan dalam makan, minum, berpakaian, cara berjalan, bebicara, duduk dan lain sebagainya. Selain itu dalam keluarga masih banyak hal lain yang sangat berperan dalam proses pembentukan kemampuan penyesuaian diri yang sehat seperti rasa percaya pada orang lain atau diri sendiri, pengendalian rasa ketakutan, toleransi, kefanatikan, kerjasama, keeratan, kehangatan dan rasa aman karena semua hal tersebut akan berguna bagi masa depannya (Enung, 2008: 206).
2.  Lingkungan teman sebaya
Begitu pula dalam kehidupan pertemanan, pembentukan hubungan yang erat diantara kawan-kawan semakin penting pada masa remaja dibandingkan  masa-masa lainya. Suatu hal yang sulit bagi remaja menjauh dari temannya, individu mencurahkan kepada teman-temannya apa yang tersimpan di dalam hatinya, dari angan-angan, pemikiran dan perasaan. Ia mengungkapkan kepada mereka secara bebas tentang rencananya, cita-citanya dan dorongan-dorongannya. Dalam semua itu individu menemukan telinga yang mau mendengarkan apa yang dikatakannya dan hati yang terbuka untuk bersatu.
Dengan demikian pengertian yang diterima dari temannya akan membantu dirinya dalam penerimaan terhadap keadaan dirinya sendiri, ini sangat membantu diri individu dalam memahami pola-pola ciri-ciri yang menjadikan dirinya berbeda dari orang lain. Semakin mengerti ia akan dirinya maka individu akan semakin meningkat kebutuhannya untuk berusaha untuk menerima dirinya dan mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Dengan demikian ia akan menemukan cara penyesuaian diri yang tepat sesuai dengan potensinya yang dimilikinya (Enung, 2008: 206).
3.   Lingkungan sekolah
Sekolah mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah pengetahuan dan informasi saja, tetapi akan mencakup tanggungjawab pendidikan secara luas. Demikian guru, tugasnya tidak hanya mengajar,  juga berperan sebagai pendidik yang menjadi pembentuk masa depan, dalam pembentuk kehidupan yang menuntut individu untuk menyesuaikan diri dengan linkungannya (Enung, 2008: 206).
Pendidikan modern menuntut guru atau pendidik untuk mengamati perkembangan anak didiknya dan mampu menyusun sistem pendidikan sesuai dengan perkembangan tersebut. Dalam pengertian ini berarti proses pendidikan merupakan penciptaan penyesuaian diri antara anak didik dengan nilai-nilai yang diharuskan oleh lingkungan menurut kepentingan perkembangan dan spiritual individu. Keberhasilan proses ini sangat bergantung pada cara kerja dan metode yang digunakan oleh pendidik dalam penyesuaian diri tersebut. Jadi disini guru sangat berperan penting dalam pembentukan kemampuan penyesuaian diri anak didiknya.
 Pendidikan pada anak hendaknya tidak didasarkan atas tekanan atau sejumlah bentuk kekerasan dan paksaan, karena pola pendidikan seperti itu hanya akan membawa pertentangan antara orang dewasa dengan remaja. Jika para remaja merasa bahwa mereka disayangi dan diterima sebagai teman dalam proses pendidikan dan pengembangan mereka, maka tidak akan ada kesempatan untuk terjadi pertentangan antar generasi (Fauzizah, 2008: 60).
D Upaya Meningkatkan Kemampuan Menyesuaikan Diri pada Anak
Upaya-upaya yang dapat diiakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri pada anak khususnya di sekolah menurut Hartinah (2010:197) adalah sebagai berikut.
a.    Menciptakan situasi sekolah yang dapat menimbulkan rasa “betah” (at home) bagi anak didik, balk secara sosial, fisik maupun akademis.
b.    Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenang kan bagi anak.
c.    Usaha memahami anak didik secara menyeluruh, balk prestasi belajar, sosial, maupun seluruh aspek pnibadinya.
d.   Menggunakan metode dan alat mengajar yang menimbul kan gairah belajar.
e.    Menggunakan prosedur evaluasi yang dapat memperbesar motivasi belajar.
f.     Ruangan kelas yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
g.    Peraturan/tata tertib yang jelas dan dipahami anak.
h.    Teladan dan para guru dalam segala segi pendidikan.
i.      Kerjasama dan saling pengertian dan para guru dalam melaksanakan kegiatan pendidikan di sekoiah.
j.      Pelaksanaan program bimbingan dan penyuluhan yang sebaik-baiknya.
k.    Situasi kepemimpinan yang penuh saling pengertian dan tanggung jawab baik pada murid maupun pada guru.
l.      Hubungan yang baik dari penuh pengertian antara sekolah dengan orangtua siswa dan masyarakat.